Zona Nyaman
Rasanya pergi
dari rumah dan tidak tahu kapan akan kembali……
Mama melambaikan
tangan dari pagar rumah. Aku memasuki taksi yang daritadi sudah standby. Aku
merutuki diriku sendiri kenapa aku memilih melanjutkan kuliah di luar Jakarta?
Sedangkan sisi diriku yang lain mengatakan bahwa, “Ini sudah menjadi
keinginanmu sejak lama. Kenapa disesali sekarang? Bukankah jalan menuju
kesuksesan tidak bisa didapatkan kalau hanya berada di zona nyaman?”
Air mata
membasahi pipiku. Mungkin itu alasan mengapa aku menggunakan masker.
Beruntunglah matahari sudah kembali istirahat, jadi linangan air mata itu tidak
terlalu terlihat. “I love you, Nini” kata Mama. Aku hanya diam, takut jika
mulutku terbuka sedikit saja air mataku yang sejak tadi kutahan akan merembes
keluar dengan derasnya.
(Jujur saat aku
mengetik ini, mataku berkaca-kaca)
Terbesit quotes
dari buku 9 Summers 10 Autumns karangan Iwan Setyawan tentang Jakarta, “Aku
mulai mencintainya, membencinya, dan mungkin akan terus begitu”. Tampaknya
kalimat itu sangat sangat pas menggambarkan perasaanku tentang kota yang sudah
menjadi tempat hidupku selama tiga tahun terakhir. Dimana aku mendapatkan
banyak pelajaran berharga, kenangan indah, sampai teman-teman yang asyik. Ada
Yin, ada Yang. Pengalaman tak mengenakkan juga tentunya selalu ada untuk
menyeimbangkan.
Entah mengapa
rasanya sangat berat berpisah. Berpisah dengan apa? Segalanya yang ada di
Jakarta. Semuanya akan menjadi baru lagi. Aku harus beradaptasi dengan
orang-orang baru, lingkungan baru, dan melangkahkan diri menuju jenjang studi
yang lebih tinggi.
Sementara kereta
api Taksaka Malam melaju kencang menuju stasiun Tugu Yogyakarta, ragaku mungkin
disini, tapi jiwaku masih jauh tertinggal. Aku merasakan hampa. Masih merutuki
diri, menyesali keputusan yang kemarin-kemarin kubuat dengan percaya diri. Jika
kau anak tunggal, mungkin kau akan merasakan hal yang sama sepertiku. Kita akan
tinggal di kota yang berbeda dengan kedua orang tua kita, lalu siapa yang akan
merawat mereka?
Kenapa
aku disini?
Penyesalanku
tidak berhenti disitu. Rasa sesal karena tidak bisa mendapatkan satupun jatah
kursi fakultas kedokteran di universitas negeri membuatku semakin memandang
sebelah mata tentang kapabilitasku. Hal bodoh yang seharusnya tidak aku
lakukan. Egoku mulai menguasaiku, kenapa aku harus berkuliah disini? Tamparan
keras, aku menyesal kenapa aku tidak bersyukur sama sekali tentang hal ini. Aku
hanya berpikir akan sangat merepotkan orang tua jika aku kuliah di swasta
walaupun mama dan papa berkata sebaliknya. Setidaknya, hidupku masih berlanjut.
Dan aku tidak boleh menyerah.
Hari-hari
Pertama sebagai Anak Kos
Inilah saat
dimana kau harus mengatur keuanganmu sendiri jika kau tidak ingin makan nasi
plus abon cabe di akhir bulan. Hahaha. Untunglah harga-harga di Jogja cukup
berpihak kepadaku. Tentunya tidak semahal di Jakarta.
Pagi pertamaku
sebagai anak kos diisi dengan memasukkan barang-barang ke dalam laci meja
belajar dan menata baju ke dalam lemari. Tak lupa mulai membeli peralatan-peralatan
tambahan seperti tempat sampah, sikat, ember, dan lain-lain. Membeli snack juga
agenda wajib mengingat aku adalah tipe orang yang gampang lapar tapi mager
untuk mencari makanan.
Untunglah aku
cepat akrab dengan teman-teman satu kosku. Hanya ada empat kamar disini. Dita, my hero, entah…tanpa perannya mungkin
aku ngga bisa masuk disini. Intan, anak Palembang yang memilih jurusan teknik
kimia. Dan terakhir Suci, anak Pekanbaru yang memilih jurusan Psikologi. Kami cukup
sering bergossip bareng di malam hari. Pernah suatu malam terdengar bunyi ‘tit
tit tit tit’. “Listriknya mau habis pang” kata Dita menenangkan. “Coba kasih
tau masmu, Dit” aku mencoba mencari solusi. “Ngeri juga, besok ospek. Malamnya mati
lampu” kata Intan. Akhirnya kita berempat mengirit listrik dengan cara tidak
menyalakan televisi.
Menantu
Idaman
AORTA adalah
istilah ospek fakultas kedokteran di UII yang merupakan singkatan dari Ajang
Orientasi dan Ta’aruf (cmiiw). Acara ini dilangsungkan selama dua hari, 1-2
September 2015. Sebelumnya, saat kuliah perdana sudah diumumkan tentang
atribut-atribut yang harus dibawa saat AORTA. Pada waktu itu pula kami dibagi
menjadi beberapa kelompok, kurang lebih satu kelompok terdiri dari dua belas
orang. Oh ya! Aku harus membiasakan diri menyebut ‘kelompok’ dengan ‘jamaah’
Ucapan puji
syukur terlontar secara otomatis dari mulutku karena aku satu jamaah dengan
Dita. Kami segera keluar dan menyatu bersama teman-teman baru satu jamaah. Masing-masing
jamaah mempunyai kakak tingkat pembimbing yang disebut sebagai wali jamaah. Jamaah
kami diberi nama Carotis, pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah dari
leher ke kepala. Hehehe. Dan wali jamaah kami adalah mas Zulfikar, yang biasa
disapa mas Zul.
Kami memulai
membuat atribut ospek, memotong-motong karton untuk bahan tas, membuat kepangan
dari tali raffia, membeli barang-barang baksos, dan masih banyak lagi. Hari
demi hari kami semakin dekat (CIEEEEE –khas Carotis banget--). Hingga tibalah
dimana keesokan harinya kami akan mengikuti AORTA. “Jangan lupa bikin yel-yel”
kata mas Zul mengingatkan. Dan beginilah yel-yel kami
Dengan
kekuatan cinta, kami datang untuk menyembuhkanmu
Carotis
takkan lelah karena paling oke
Ada
Vian, Faried, Adit juga Ramdan
Ceweknya
ada Gita, Dita, Nindi, Fany
Aan,
Angga, Annisa, dan juga Anggita
Jamaah
Carotis waljamnya itu mas Zul, yang pake kacamata
Jangan
Cuma nonton doang, yang lain ditendang
Kami
carotis… MENANTU IDAMAN!
Lirik yang
kebanyakan dikarang oleh Ramdan akhirnya resmi menjadi yel-yel kami (yang
mungkin sedikit alay)
AORTA
Hari Pertama
Kami berangkat
bersama-sama menuju boulevard UII. Seperti ospek universitas, kami dibariskan
untuk melewati tiga pos. “Siapa yang merasa sepatunya tidak hitam full maju ke
depan!” perintah kakak KK. Kulirikkan mataku ke bawah memandang sepatuku. “Kamu!
Maju ke depan!” Nasib sial memang sedang membuntutiku hari itu. Aku maju ke
depan dengan pasrah, tahu kenapa? Karena di sepatuku terdapat bagian sedikit
putih yang ku isolasi hitam. Lalu apa masalahnya? Isolasinya lepas. “SIAL!”
Pekikku dalam hati.
“Kenapa
sepatunya?”
“Ini kak…isolasinya
lepas…” aku menunduk
“Kamu ngerasa
salah nggak?”
“Iya kak…”
“Yakin?”
Aku mengangguk. Kakak
tersebut kemudian membalik cocardku dan langsung memberi centangan di
pelanggaran sedang. “HAAAH MAMPUS! 20 TANDA TANGAN” aku meratapi kesialanku di
pos pertama.
Berlanjut di pos
kedua, tempat pemeriksaan atribut. “Warna tali tasnya ada berapa dek?” hening
sesaat. Kakak itu mengulangi pertanyaannya lagi. “Empat kaak” kami menjawab
takut-takut. “Berapa?!” “Empat kak” dan belakangan diketahui kalau talinya
berjumlah tiga. Baiklah, pelanggaran keduaku hari itu. Tanda tangan kakak
panitia yang harus kudapat berubah menjadi 40. Ditambah lagi membuat essay
tentang hipertensi sebanyak empat halaman folio, ditulis tangan!
Acara AORTA pun
dimulai. Pembukaan resmi oleh ibu dekan. Kami dibagikan buku panduan acara
AORTA. Oh iya! Tempat berkumpul kami adalah di depan lab FK. Hari itu berjalan
dengan damai dan sedikit tegang. Setelah lengkap, kami berkumpul ke GKU untuk
sholat dhuha dan mengikuti berbagai seminar. Tentu saja kemanfaatkan setiap
waktu luang untuk mencari tanda tangan kakak-kakak panitia.
Siangnya, kami
melaksanakan Tour de Medica
mengelilingi bangunan FK UII dari lantai satu sampai empat. Ramdan sibuk dengan
note kecilnya yang dia gunakan untuk mencatat setiap ruangan yang ada di gedung
ini. Sementara Mas Zul memberi
pengarahan tentang ruangan-ruangan, semacam menjadi tour guide.
Acara hari itu
berakhir menjelang maghrib. Kami mendapat tugas untuk esok, yaitu membuat essay
tentang anatomi dan fisiologi salah satu orang penting tubuh sebanyak dua
halaman, membuat denah fakultas, dan membeli beberapa bahan lagi. Dan tentunya,
mengganti jumlah tali tas kami dari empat menjadi tiga.
Dengan langkah
gontai karena sudah kelelahan kami berjalan menuju kosku dan Dita yang
merupakan basecamp kami. Adzan maghrib
mulai berkumandang. Singkat cerita, kami mulai memperbaiki atribut-atribut yang
salah. Sedangkan para ikhwan membeli bahan keperluan untuk hari kedua. “SEMANGAT!”
kataku kepada mereka. Kami semua lelah, termasuk aku. Dan kata-kata itu menjadi
sangat basi untuk diucapkan.
Hari menjelang
malam dan atribut pun perlahan mulai selesai. Sementara Ramdan masih sibuk
mengeprint tulisan di atribut kami yang salah. Tinggallah
aku, Dita, Faried, Vian, dan Ramdan. Ketiga ikhwan Carotis ini menggambar denah
fakultas dengan bersemangat (read: loyo). Sementara aku dan Dita nyicil
mengerjakan essay. Mereka baru menyelesaikannya pukul 23:15, essay hipertensiku
masih 3 halaman dan otakku sudah mentok tidak tahu mau menulis apa lagi.
“Aku mau tidur
dulu, Dit. Nanti jam 3 bangun lagi” kataku pada Dita. Kami berpisah menuju kamar
masing-masing. Aku meletakkan essay hipertensiku di atas meja, memandanginya
sesaat dan melanjutkannya sebentar. Tak terasa jam mulai menunjukkan pukul
00:15, “Aku harus tidur” pikirku. 15 menit kemudian aku terlelap.
Alarm handphone
sudah terprogram pukul 3 pagi. Nyatanya aku malah terbangun dengan sendirinya
pukul setengah 3. Aku berkedip sesaat. Ingin tidur lagi. Dilema. Aku belum
menyelesaikan essay hipertensiku, apalagi tugas essay anatomi dan fisiologi. Syukurlah,
tepat pukul 4 essayku selesai. Inilah rekor pertamaku, tidur hanya dua jam
dalam sehari.
AORTA
Hari Kedua
Saking lelahnya,
aku meminta doa teman-teman alchemist di grup supaya tidak terkena pelanggaran
lagi hari ini. Alhamdulillah doa mereka terkabul. Aku aman. Hari kedua
merupakan klimaks dari seluruh rangkaian acara ini.
Sampailah saat dimana
kami akan mengunjungi “dosen besar” kami. Dari GKU, team Carotis menuju ke
depan lab FK. Disana sudah ada salah satu kakak panitia yang menyambut kami. Raut
wajahnya seperti dipaksakan rileks, mungkin karena melihat kami yang terlalu
tegang karena memang kami sudah tahu akan disuruh apa setelah ini. “Yuk yel-yel
dulu, ngga usah keras-keras ya…”
Aku bisa
merasakan ketegangan diantara kami semuanya. Setelah itu kami diminta untuk
membagi dua, per enam orang naik terlebih dahulu. Aku bersama dengan Vian,
Faried, Anggi, Nindi. Ya, karena kebetulan Aan sedang sakit. Aku menaiki
undakan menuju lantai dua yang sudah disambut oleh kakak panitia yang lain. Slayer
sudah menutupi hidungku, karena pengap aku menurunkannya. “Assalamualaikum, kak”
sapa kami. “Waalaikumsalam” raut wajah kakak yang satu ini juga tidak jauh
berbeda dengan kakak sebelumnya.
“Kalian nyium
bau-bau sesuatu gitu ngga?”
Hening.
“Bau mencit”
lanjut kakaknya.
“Saya kok engga
cium ya kak…” aku menanggapi kakaknya.
“Something is wrong with your nose, kamu
pilek?”
“Engga, kak”
“Yaudah, sama. Saya
juga ngga cium”
Aku terdiam.
Kami diberi kode
untuk naik ke lantai tiga. Disana kami juga disambut oleh salah satu kakak
panitia.
“Kak, kita mau
ngapain sih kak?” tanya Nindi. Kakak itu hanya tersenyum dan meminta kita untuk
mengikuti saja apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian kami dikomando untuk
naik ke lantai empat. Kami dibariskan di depan pintu ruangan yang dari luar
terlihat gelap.
“Bawa slayer
semua kan dek?” tanya kakaknya. Kami mengangguk.
“Sekarang kalian
lipat slayernya kayak gini, terus tutupin ke mata. Jangan tebel-tebel nanti
kalian ngga bisa nafas”
Kalian tahu apa
yang ada di dalam pikiranku? Awalnya kupikir kami diminta membawa slayer untuk
menutupi hidung kami. Ternyata mata!
Ya Allah, aku
pasrah apapun yang terjadi padaku tolong aku dimudahkan.
Kakak tersebut
membantuku mengikatkan slayer. Aku merasakan dia memegang pundakku dan
mengistruksikan kepada yang lain untuk berpegang ke pundak temannya. Aku tidak
berpegang pada pundak siapapun?!?! Menandakan kalau aku adalah yang paling
depan. Aku hanya menggandeng tangan kakaknya. “Kak saya boleh tukar ngga, saya
ngga mau di depan..” suaraku mulai bergetar. “Kenapa memang? Ngga papa kok”
kata kakak itu lembut menenangkanku. Kami melangkah dengan mata tertutup
slayer. Hawa dingin kurasakan. Aku mulai terisak. “Kamu kenapa?” aku tetap
terisak sedikit kencang. “Ngga papa kok, ngga papa” kakak tersebut seolah
berubah menjadi seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya.
“Kak, kita mau
dibawa kemana?” Nindi yang ada di belakangku bertanya. Kakak itu diam. “Don’t let go, kak” kataku menggenggam
erat pergelangan tangannya. Aku merasakan kami semua dipisahkan dan diserahkan
ke kakak-kakak disitu yang aku tidak tahu berapa. Walaupun dalam keadaan tidak
bisa melihat apapun, aku bisa merasakan kakak itu membukan gorden atau apalah.
“Dek, saya
tempelkan ini di pundak kiri kamu. Jangan sampai hilang ya. Kamu sebentar lagi
ketemu dosen kamu, hormatin ya” aku terdiam. Tangisanku berhenti. Entah apa
sebenarnya yang menhentikannya. Kakak itu memegang tangan kiriku dan
meletakkannya diatas “dosen”ku. Seketika, pikiranku berubah. Kalau aku tetap
menangis, aku tidak menghargai “dosen”ku sama sekali.
“Nanti cari jarum
ya, dek” katanya. Kemudian meninggalkanku yang diisyaratkan dengan angin
tubuhnya yang berlalu.
“hitungan ketiga,
buka slayer kalian!”
“oke, aku tau
saat ini pasti akan datang juga. Terkadang ada hal yang tidak bisa kita hindari
dan mau tak mau harus dihadapi” aku memberanikan diri dalam hati.
“satu, dua, tiga,
BUKA SLAYERNYA!” Aku membuka slayerku dengan tangan kanan, karena tangan kiriku
masih menyentuh sang dosen. Aku menarik napas perlahan dan teriam selama
beberapa detik. Memandangi sekeliling dengan penerangan remang-remang. Dihadapanku
sudah terbari sang dosen. Aku mengalihkan pandangan ke tangan kiriku yang
ternyata menyetuh paru-parunya.
Tak lama aku
kembali berfokus untuk mencari jarum yang dimaksud. Aku meraba dan berusaha
merasakannya karena aku tidak bisa melihat dengan jelas. Dari seberang
terdengar teriakan, “Kak saya sudah dapat!” suara Vian membuatku panik. Aku mencoba
mencarinya lagi bahkan sampai mengangkat paru-paru tersebut.
“Kak, saya dapat!”
suara perempuan yang kuasumsikan Nindi.
“KELUAR DEK!”
Deg. Aku makin panik
karena belum menemukan apapun. Instingku menyuruhku berkata, “KAK SAYA NGGA
DAPAT” sedetik kemudian, kakak itu membuka gorden hitam dan menyuruhku keluar. Aku
lega ketika bisa melihat cahaya terang lagi. sisa-sisa air mata masih menempel
di pelupuk mataku.
“Turun ya dek”
“Iya, kak”
Aku menuruni
tangga dari lantai empat dengan gesit menyadari bahwa teman-temanku yang lain
tidak ada. “Assalamualaikum, kak” sapaku di setiap tangga yang kuturuni.
Aku dan Anggi yang pertama kali sampai di
tempat berkumpul. Mas Zul sudah menanti dengan tongkat bertuliskan “CAROTIS”
yang setia dibawanya. Aku maju mendekatinya ketika kutoleh ke belakang untuk
mencari Anggi dan hendak menyusulnya, “Fany, Fany” panggil Mas Zul. “Sini sini,
cuci tangan dulu” aku manut.
“Gimana tadi?”
“Dia dapet mas,
aku engga” jawabku.
Penutupan acara
dilaksanakan pukul 5 sore oleh bapak wakil dekan. Setelah itu kami semua sholat
maghrib dilanjutkan pemberian award kepada maba&miba terbaik dan panitia
terbaik dari berbagai kategori.
“Maba terbaik
adalah……”
“Ramdan dari
Carotis!” wah wah. Aku benar-benar tidak menyangka Ramdan bisa menang. Kami semua
bertepuk riuh menyatakan kebanggaan kami. “Pak Ustad” akhirnya mendapatkan
award itu! Walaupun jamaah kami tidak terpilih menjadi jamaah terbaik, namun
Ramdan berhasil membawa nama Carotis.
Panitia-panitia
mendapat award masing-masing. Dan terakhir adalah dalam kategori “terdisiplin”
“SIAPAAAA?” kakak
MC ingin mendengar jawaban kami.
“KK!!!!” Kami
kompak menjawab.
“Dan kategori
terdisiplin AORTA 2015 diberikan kepada…….”
“KK!”
Wooo! Disambut dengan
tepuk tangan meriah. Saat kakak-kakak dari departemen KK maju ke depan semua
hening. Suasana menjadi sama persis seperti saat tiba-tiba kakak-kakak KK
memasuki auditorium dan membuat hati kami berdebar-debar (CIEEEE (?))
Mereka memperkenalkan
diri terlebih dahulu satu per satu, kemudian memohon maaf kepada kami semua. Salah
satu kakak tersebut meminta dua maba yang dia sebut namanya untuk maju ke
panggung.
Formasi berubah
kembali. Kedua maba tersebut kini membelakangi kami semua untuk menghadap
kakak-kakak KK, “SAYA MAU KALIAN ISTIGHFAR 10 KALI” perintah salah satu maba
itu. Kakak-kakak KK itu menunduk dan mulai beristighfar, ekspresinya sama
seperti saat kami ada di posisinya beberapa waktu lalu. Terdengar tepuk tangan
meriah yang menandakan kami puas.
“NGGAK MAU? SAYA
TAMBAH DUA KALI LIPAT JADI DUA PULUH KALI” maba tersebut melanjutkan. Tepuk tangan
makin membahana. Semua mengganas seakan ingin melampiaskan (?)
Selesai. Kakak-kakak
KK meminta maaf kepada kami semua, suasana kembali hangat. Dari awal aku selalu
tahu kalau mereka semua sebenarnya kakak-kakak yang baik. Mereka mendidik kami
untuk disiplin dan tidak melewatkan satu detil pun karena itu sangat penting.
Selamat menempuh
hidup baru, teman-teman sejawat! =))