Beraneka gadgets dan barang-barang canggih
sekaligus keren banyak diimpor negara kita dari luar negeri. Kemajuan teknologi
yang makin pesat membuat masyarakat kita tergiur oleh produk-produk classy tersebut. Setiap kali ada rilisan
barang terbaru, orang-orang akan selalu datang menyerbu untuk mendapatkannya
pertama kali. Ya, pengaruh teknologi memang besar sekali terhadap negara ini. Tapi
apakah pernah kita berhenti sejenak diantara keramaian banjir produk impor ini
dan berpikir betapa konsumtifnya masyarakat kita. Semua seolah tergantung dari negara
lain. Hal ini tentu berdampak pada pedagang lokal yang kebanyakan kalah saing
dengan produk-produk asing. Namun, apakah konsumtif itu memang budaya orang
Indonesia? Bukan. Sebenarnya mereka hanya gengsi membeli barang-barang impor. Atau
bisa juga disebut sebagai korban merk. Anak-anak dalam negeri sebenarnya punya
kapabilitas untuk memproduksi barang-barang itu sendiri, namun karena gengsi di
masyarakat untuk memiliki produk impor, maka barang-barang domestik tersebut
terabaikan. Tengok saja anak SMK yang sudah mampu membuat mobil sendiri, tapi
tidak ada yang membeli kan? Padahal itu buatan bangsa kita sendiri. Seandainya kita
dapat memproduksi sendiri mungkin akan lebih hemat pengeluaran negara kita. Masyarakat
Indonesia sendiri juga tampaknya selalu mengunderestimate
produk lokal yang dianggapnya kalah kualitas dibangingkan produk impor. Lalu,
jika kondisi ini terus berlanjut, apakah yang akan terjadi? Bisa dikatakan
secara tidak langsung kita dijajah produk asing.
Indonesia merupakan
negara berkembang, setidaknya itu yang kita tahu selama ini. Tapi benarkah
begitu? Salah seorang temanku pernah bilang kalau sebenarnya Indonesia bukanlah
negara berkembang, tapi negara terpuruk. Dan kita berdua tertawa mendengar
lelucon benar itu. Banyak hal yang menjadi kriteria untuk menjadi negara maju. Tapi
pada dasarnya, maju atau tidaknya suatu negara bergantung pada orang-orangnya
sendiri. Kalau kita tengok, sudahkan kita pantas menjadi negara maju? Mulai dari
hal-hal kecil dan remeh seharusnya kita perhatikan. Karena hal-hal yang kecil
dan remeh dapat mempengaruhi hal-hal besar yang nantinya akan kita lakukan.
Pagi ini, mamaku
sharing tentang guru bahasa inggrisnya, seorang bule yang sudah tinggal cukup
lama di Indonesia. Ternyata dia sudah mendalami perilaku-perilaku orang
Indonesia, kalau masuk jalur busway, ditangkap bisa nyogok. Mungkin hal ini
sudah kita anggap biasa, tapi akankah kebiasaan ini kita teruskan? Pertama,
dari diri sendiri dulu, coba disiplin. Tidak usah masuk jalur busway, semua
orang sama macetnya dan ingin cepat sampai, seenaknya aja orang-orang itu
nyelonong masuk. Dan apa yang terjadi kalau ada kasus busway nabrak motor yang
di jalur busway? Buswaynya diamuk masa. Sebenarnya yang salah siapa? -_-
Dari pengamatan
si bule ini seharusnya kita malu pada diri kita sendiri. Kita ingin dipandang classy dan tau teknologi, tapi haruskah
begini caranya? Menghilangkan rasa bangga kita terhadap produk negara sendiri
dan memilih produk negara lain. Si bule mengakui banget bahwa Indonesia memang
kaya SDA, tapi sayang belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Lagi-lagi faktor
SDM menjadi kendala.
Dan lanjut, si
bule juga mengamati banyak hal di Jakarta ini. Sepanjang pagi di mobil aku
hanya terus mendengarkan pendapat mama dan papa yang saling sharing soal masalah-masalah di
Indonesia. Mendengarnya aja aku udah pengen nangis dan prihatin. Apalagi menengok
penerusnya yang suka nyontek, ngrokok, bolos sekolah. Rasanya psimis mau lihat
Indonesia maju. Tidak ada yang bisa menjamin berapa tahun lagi Indonesia akan
menjadi negara maju yang mandiri. Yaaa berhubung aku masih kecil (hahaha engga
juga sih) jadi yaaa segitu lah yang aku tangkap.
Mulailah berubah
untuk Indonesia yang lebih baik. Lakukan hal-hal kecil dengan sepenuh hati dan
jangan diremehkan. Kelak itu akan berpengaruh besar. Dan semoga kelak Indonesia
bisa menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi di tangan pempimpin yang baik
dan masyarakat yang maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar