Sore
itu seperti biasa sekitar pukul 17:30 aku dan papaku menjemput mama pulang
kerja di stasiun klender baru. Terdengar sirine yang menandakan bahwa kereta
akan lewat dan palang akan segera ditutup. Dan aku masih sibuk sendiri dengan
handphone sementara papa menunggu diluar mobil sambil mencari mama diantara
kerumuman orang yang turun dari kereta. Pintu belakang mobil dibuka dan mama
masuk. Seperti biasa, dengan raut wajah kelelahan karena pulang kerja atau
mungkin karena tergencet-gencet di kereta yang tidak pernah sepi di jam sibuk
seperti ini. Aku hanya diam. “Assalamua’alaikum mam.” “Waalaikumsalam.” Jawab
mama. Sementara papa menyalakan mesin mobil dan segera melaju pulang. Adzan
maghrib terdengar dan aku masih melihat mama dengan tatapan termenung. Sesampainya
di rumah mama langsung meletakkan tasnya dan duduk di meja makan. “Mama nggak
dapet umroh.” Aku menatap matanya yang berkaca-kaca. Aku terdiam, hanya bisa
terdiam. Aku juga merasakan hal yang sama, hatiku juga sedih saat melihat mama
sedih. Kuputar otak dengan cepat untuk menemukan kata-kata yang setidaknya bisa
menenangkan. “Mungkin mam harus berangkat pakai biaya sendiri..” aku duduk
dihadapannya. “Iya..” kata mama mengusap air matanya.
Setelah
selesai sholat maghrib aku berdoa, “Yaa Allah izinkan mama pergi ke mekkah.
Mama sudah lama pengen pergi kesana. “ kuselipkan do’a itu di dalam daftar do’a
rutinku. 3 hari kemudian aku kembali menjemput mama di tempat yang sama kali
ini dengan mimik yang berbeda, begitu senang. Ternyata mama dapet umroh. Sama
sekali tak kubayangkan do’aku dikabulkan oleh Allah secepat itu. “Tuh kan mam
rejeki itu nggak kemana..” kataku tersenyum. Setelah itu mama mulai menyusun
plan menjelang hari keberangkatan umroh. Papa juga ikut. Dan aku belum ketahuan
bagaimana nasibnya. “Fanny mau ditemenin siapa nanti?” Tanya mama. “Mmm ngga
tau..” aku tak bisa membayangkan seminggu tidak bertemu mama sama papa. Haha
maklum anak tunggal.
Cerita
makin menarik saat papa menjemputku pulang sekolah pukul 15:00. Selama
perjalanan pulang, “Kayaknya mama mau ngajak kamu umroh.” Aku merasakan
jantungku berhenti sejenak dan napasku tertahan. “Hah? Bener?” tanyaku. “Iya.
Mama mau bikin paspor dulu.” Fyi, Januari kemarin aku tepat berumur 17 tahun
dan belum punya KTP. Tak lama kemudian hape papa bunyi, ringtone yang khas
yaitu sirine stasiun kereta kesayangannya. “Baca fan dari siapa.” “Mama.”
Jawabku. “Apa katanya?” “Pa jangan bilang-bilang Fanny dulu ya kalau mau
diajak.” Aku membacakannya sambil tertawa. Barusan juga dibocorin. “Yaudah
nanti kamu pura-pura ngga tau aja ya.” Kata papa.
Ngurus
paspor bukanlah hal gampang. Mama mendatangi travel kita di bekasi dan
menanyakan apakah aku masih bisa ikut walaupun belum bikin paspor.
Alhamdulillah masih bisa dan nanti diuruskan sama travelnya dengan biaya
tambahan. Satu problem lagi muncul, paspor harus pakai KTP berhubung aku sudah
17 tahun. Kemarin aku dengar Dea bikin KTP baru jadi 3 bulan..hening..hening..hening.
Akhirnya dengan segala usaha KTPku jadi, KTP sementara. Singkat cerita semua
dokumen akhirnya beres dan tinggal menunggu hari H.
Hari
menjelang keberangkatan kurang dari sebulan lagi. Aku dan mama pergi ke thamrin
city untuk mencari keperluan umroh. Dan akhirnya kami pulang membawa tentengan
plastic besar berisi kain ihram papa, baju ihramku dan mama, dan keperluan
lain. Hari berlalu makin cepat dan saat itu hari Rabu, 7 Mei 2014. Aku tidak
bisa izin pulang lebih awal karena 2 pelajaran terakhir ada presentasi dan
ulangan. Aku bergegas pulang ketika bel berbunyi pukul 15:15. Aku mandi dan
sholat ashar, “Ya Allah ini sholat ashar terkahir di Indonesia sebelum ke
sana.” Batinku. Hahaha lebay banget ya. Dan batinan ini terus kubatin hingga
sholat dhuhur esoknya di bandara soekarno-hatta. Aku diantar sepupuku ke
stasiun klender baru dan naik krl bersama papa. Setelah maghrib kami sampai di
Hotel Bintang. Tempat kami menginap dan manasik malam ini.
Aku
tak kuasa menahan rasa haru dan bahagia yang tak tertandingi saat akan menulis
cerita menakjubkan yang sama sekali tak kuduga. Samar-samar aku masih bisa
mendengar suara Ustad Rasyid memimpin rombongan kami membaca do’a saat thawaf,
sa’i, dan memberi salam saat ziarah. Dan masih terbayang ekspresi sang ustad
saat berpisah dengan bus kami di Laut Merah, matanya berkaca-kaca. Aku juga tak
tau darimana harus memulai. Semuanya terjadi begitu cepat dan terlalu cepat.
Bahkan sampai detik ini aku masih tidak percaya bahwa ini nyata dan benar-benar
aku alami. Samar-samar juga aku masih bisa mendengar manasik dari ustad
pembimbing kami dari Indonesia, ustad Dave Ariant Yusuf yang menerangkan bahwa
kita semua bisa umrah bukan karena punya uang tapi karena dipilih dan diundang
oleh Allah SWT. Awal mendapat kabar bahwa aku akan ikut umrah aku hanya merasa
bahagia dan sekedar bahagia saja, tidak lebih. Namun aku tak menyangka akhirnya
akan seperti ini. Awalnya aku menganggap apa-apa yang dibilang orang tentang
Makkah dan Ka’bah biasa saja dan terlalu berlebihan, tapi saat aku merasakannya
sendiri semua terbukti benar. Dan mungkin orang lain yang belum merasakan juga
mungkin menganggapku berlebihan saat menulis ini. Coba saja dirasakan nanti
hehehe. Di postingan ini aku akan menceritakan hari-hari paling tak terlupakan:
Manasik
di Hotel Bintang (Rabu, 7 Mei 2014)
Manasik umrah
oleh PT Arminareka Perdana dimulai setelah makan malam, tepatnya pukul 20:15
WIB. Aku, mama, papa masuk ke ruang manasik lebih dulu dan segera memilih
tempat paling depan. Di layar diputarkan video ka’bah dan masjidil haram. Aku
hanya bisa terdiam memandanginya. “Sebentar lagi aku kesana.” pikirku. Setelah
para calon jamaah umrah masuk dan acara pun siap dimulai. Ustad Dave memulainya
dengan mengucapkan salam dan kemudian bertanya kepada kami semua bagaimana
rasanya umrah, apakah biasa saja? Senang? Sedih? Dan dalam hati aku berbisik “Teharu,
ustad.” Dan aku melirikkan mata ke mamaku, mama hanya tersenyum lebar dan aku
berpikir mungkin mama terharu karena telah menantikan ini sejak lama dan
akhirnya kesampaian juga. Kemudian Ustad Dave mengajak kami menundukkan kepala
sejenak sebelum mulai manasik lebih jauh, menundukkan kepala seraya menghayati
dan melihat lebih jauh bahwa segala kelebihan yang ada dalam diri kita seperti
ilmu, rupawan, dan jabatan merupakan titipan Allah yang harus kita jaga dan
disini kita diminta untuk menghilangkan perasaan sombong karena
kelebihan-kelebihan itu. Lalu Ustad Dave melanjutkan dan berkata bahwa kita
bisa datang ke tanah suci adalah karena diizinkan oleh Allah SWT. Kita disana
ibarat bertamu, apabila kita menjadi tamu yang baik (berperilaku baik) maka
tuan rumah tak segan untuk mengundang kita kembali. Semua orang yang pergi ke
sana pasti meminta agar diundang kembali untuk bisa datang ke tanah suci, maka
kita harus menjadi tamu yang baik. Ilmu baru yang aku dapat dari Ustad Dave
juga bahwa kalau kita umrah, kita mendapat jaminan: dihapus dosa-dosanya,
do’anya dikabulkan, dan rezekinya lancar. Ustad Dave jadi ustad favoritku, baru
pertama kali melihat tapi langsung suka dengan cara Ustadnya menyampaikan
manasik yang ringan dan mudah dicerna juga diselingi humor-humor membuat acara
ini menjadi santai dan tidak boring.
Manasik berakhir pada pukul 22:15 WIB. Ustad Dave bilang akan ikut di salah
satu bus kami nanti di Saudi Arabia.
Aku
memandangi selebaran kertas berisi jadwal perjalanan kami nanti di sana.
Tempat-tempat ini masih asing sekali dipikiranku. Sementara itu rasa cemas
masih menyelimutiku akan virus yang sedang merajalela di sana, virus MERS. Kami
telah membekali diri dengan obat-obatan dan antiseptik untuk cuci tangan. Tak
lupa juga memohon perlindungan Allah agar dilancarkan segala urusan ibadah dan
dilindungi dari segala macam penyakit. Jumpa pertama kali dengan Ustad Dave
membuatku sangat amat berharap satu bus dengannya.
Perjalanan
dari Hotel ke Bandara Soekarno-Hatta (Kamis, 8 Mei 2014)
Semua jamaah naik
bus yang sudah ada di depan hotel mendekati pukul 11:00 WIB lalu pukul 11:00
WIB tepat bus berangkat menuju ke bandara Soekarno-Hatta.
Disela-sela penantian
waktu boarding, beberapa jamaah
menyempatkan foto bareng Ustad Dave. “Ayo, ndak foto sama ustadnya?” ajak
seorang ibu-ibu temen mama. Dan ini dia fotonya.
Saat hendak menuju ruang
tunggu sekitar pukul 15:00 WIB paspor dibagikan bersama dengan boarding pass. Ustad Dave memberi
pengarahan sebentar yang intinya saat disana nanti kita harus sabar, ikhlas,
dan tawakal. Kali ini kami menuju bandara King Abdul Aziz di Jeddah dengan
pesawat Garuda Indonesia GA 982 yang berangkat pukul 16:35 WIB. Perjalanan
Jakarta-Jeddah ditempuh selama kurang lebih 9 jam dan kami pun akhirnya sampai
di Jeddah pukul 22:15 waktu setempat. Kami duduk-duduk sebentar di ruang
tunggu. Beberapa orang arab menghampiri menawarkan kartu untuk ponsel kami. Mahal,
150 ribu. Aku ragu-ragu beli atau engga ya? Mahal sekali. Akhirnya….engga beli.
Dan seminggu disana off, Alhamdulillah enak sekali. Beberapa saat kemudian kami
langsung ke bagian imigrasi untuk dicek paspor dan langsung menuju pengambilan
bagasi. Pengalaman menarik dialami papaku saat pengecekan paspor, sebelumnya
Ustad Dave sudah memberi informasi kalau diimigrasi ada 2 kemungkinan
pemeriksaan. Ada yang wanita/pria terpisah atau disana bagi wanita wajib
membawa mahram laki-laki. Ternyata saat kami datang, yang berlaku adalah kemungkinan
yang pertama. Ladies first, ibu-ibu
mengantri di bagian imigrasi sedangkan bapak-bapaknya menunggu di lantai 2.
Semua jamaah laki-laki difoto dan dicek sidik jari kecuali papaku. Dan orang-orang
pun mulai bercanda kalau papaku mirip orang arab. Setelah beres kami keluar
bandara dengan bus menuju ke kota Madinah dengan jarak kurang lebih 450 km dari
Jeddah yang ditempuh kurang lebih 6 jam. Disini awal mula pertemuan kami semua
(yang di bus 6) dengan Ustad Rasyid. Dengan ramah dan sumringah ustad ini
membagikan dinner pada para jamaah
yang semuanya muka bantal karena ngantuk sambil bus berjalan menuju Madinah. Kepalaku
masih terasa sangat pening setelah naik pesawat selama itu, aku jet lag parah,
kakiku sakit karena kelamaan duduk. Selama perjalanan ke Madinah aku hanya bisa
menahan rasa pengen pipis karena toilet-toilet yang kurang bersih. Aku masih
ingat pesan mama dan kata orang-orang juga hati-hati dengan ‘batinan’ kita,
bisa langsung terlaksana. Akhirnya aku dan mama sepakat kalau tiap kita diam
atau sedang berpikir negatif, kita akan baca istighfar sebanyak-banyaknya.
Sampai
di Madinah (Jumat, 9 Mei 2014)
Akhirnya
kami sampai di Madinah sekitar pukul 06.00 waktu setempat. Saat memasuki kota
suci ini, ustad Rasyid menunjukkan masjid Bir Ali yang nantinya akan menjadi
tempat miqot kami. Ustad Rasyid juga mengingatkan jangan sampai kita menyakiti
hati penduduk Madinah karena karena Rasulullah SAW sangat memuliakan penduduk
di kota ini. Tidak ketinggalan Ustad Rasyid juga menambahkan bahwa perempuan
boleh sholat jum’at dan tidak perlu sholat dhuhur. Akhirnya bus berhenti tempat
di depan hotel kami pukul 06:30. Hotel kami bernama Al Eiman Royal Al Faleh
Center yang terletak tak jauh dari Masjid Nabawi. Sesampainya di hotel kami
langsung sarapan dan masuk kamar masing-masing untuk mandi dan istirahat
sebentar. Koper bisa diambil di lantai 14. Sebelum masuk kamar yang juga
kebetulan di lantai 14, aku membantu papa mencari koper kami diantara tumpukan
koper lainnya. Mama kemudian melihat tas ustad Dave, “Ustadnya di bus 4, nggak
satu busa sama kita.” Kata mama padaku. Kecewa kecewa kecewaaa. Masuk ke kamar
aku langsung menjatuhkan tubuhku di kasur dan semua rasanya masih
berputar-putar dan lantainya gerak. Jet lag makin parah.
Hampir semua mobil warnanya putih ya, dan jarang pohon |
Madinah from room 1403 Dar Al Eiman Hotel |
Selfie dulu sama Madinah (hehe) |
Menjelang
pukul 11:00 aku dan mamaku bersiap ke Masjid Nabawi. Jujur, aku ngga pernah tau
Masjid Nabawi bahkan sampai aku hendak mengunjunginya. Sesuai sabda Rasulullah SAW
bahwa siapa yang sholat di Masjid Nabawi lebih utama daripada 1000 sholat.
Subhanallah, makin semangat aja sholat disini. “Ada air zamzam nggak ya
disini?” Tanya mamaku. “Kayanya engga deh, ma.” Jawabku sotoy. Ternyata saat
kami masuk area Masjid Nabawi, tersedia kran-kran air zamzam yang dapat diminum
secara gratis sebanyak apapun. Di bagian dalam masjid juga disediakan
galon-galon air zamzam plus gelas plastik agar bisa langsung diminum. Subhanallah
pertama kali meneguk air zamzam secara langsung dari tempatnya, segar dan
dingin sekali. Di sekitar gate-gate
Masjid Nabawi banyak orang berjualan, ada gamis laki-laki/perempuan, peci,
tasbih, pashmina, gelang, coklat, dll. Kebanyakan mereka lebih bisa bahasa
Indonesia daripada bahasa Inggris. “Sepuluh real.” kata sang penjual saat
mamaku mengangkat satu pashmina untuk menanyakan harganya. “Ayo liat liat, liat
liat” seru salah seorang pramuniaga toko. “Apa kabar?” seru penjual di toko
sebelahnya. Ada juga yang meneriakkan, “Murah-murah!”. Mungkin saking banyaknya
orang Indonesia yang berkunjung kesini jadi lama kelamaan mereka mempelajari
bahasa kami. Oh iya belanja di Madinah insyaAllah nanti diganti sama Allah 2
kali lipat.
Sepulang
dari Masjid Nabawi papa bercerita, “Tadi kopyahku (peci) mau dituker sama orang
Turki.” Kata papa sambil ketawa. “Hahahaha, kok bisa?” tanyaku. Karena sama-sama
nggak paham bahasanya akhirnya papa dan si orang turki pake bahasa isyarat. Kayaknya
peci khas Indonesia ini bagus sampe dia mau ngajak nuker, tapi ujung-ujungnya
papa nolak.
Masjid Nabawi di jam-jam panas-panasnya matahari |
Jam
21:00 kami berkumpul di depan hotel untuk ziarah ke makam Rasulullah di dalam Masjid
Nabawi. Untuk kaum laki-laki terbuka selama 24 jam sedangkan untuk perempuan
hanya dibatasi pada jam-jam tertentu. Jujur (lagi), aku baru tau kalau di
Masjid Nabawi lah Rasulullah SAW dimakamkan. Dan aku mulai merasa berdosa dan
bersalah, “Umat macam apa aku ini? Islam KTP.” Selama melihat jadwal aku terus
berpikir, “Raudhah itu apa?” dan barulah aku tau sesaat kami akan berkunjung
kesana. Aku mulai sadar selama ini aku sibuk melakukan apa sampai lupa dan ngga
tau dimana Nabiku sendiri dimakamkan, dan jujur waktu itu aku juga ngga tau
kapan Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Astaghfirullah. Pengakuan nih
pengakuan (-_-).
Ibu-ibu sudah berkumpul di depan pintu hotel
dan kami didampingi 2 ustadzah berangkat menuju Raudhah. Aku menjaga (atau
lebih tepatnya menahan) agar wudhuku tidak batal (jujur lagi: perutku mules he
he). Kami kembali melewati pintu masjid dan seperti biasa, diperiksa tas demi
tas untuk memastikan bahwa ngga ada kamera yang ‘lolos’. Melihat pembatas antara
tempat sholat ikhwan dan akhwat hendak ditutup oleh petugas masjid, kami
bergegas mempercepat langkah dan menyelipkan badan masuk ke area di seberang
pembatas. Masjid Nabawi begitu besar hingga aku tidak bisa membayangkan
sebenarnya di sebelah mana posisi kami saat ini. Kami duduk di dalam masjid
bersama peziarah Indonesia lainnya. Melihat banyak orang menyelinap masuk dan
‘lolos’ penjagaan, jamaah makin ngga sabar dan ingin juga menerobos. “Ibu ibu,
duduk.” Seru si penjaga saat ada jamaah yang berdiri dan terlihat siap
menerjang dengan logat arabnya. Aku sudah mulai mengantuk karena menunggu
terlalu lama, sudah 2 jam dan kami belum juga diberi kesempatan. “Nanti
makamnya Rasul yang paling kiri pokoknya.” Kata ustadzah. Semua jamaah menyimak.
Makam Rasul merupakan tempat mustajab juga untuk berdoa namun karena banyaknya
peziarah, apa mungkin? “Kalau lagi berdoa, biar ngga diusir pura-pura sujud
aja. Kalau orang sholat ngga diusir.” Tips dari ustadzah. Para jamaah
mengangguk.
Antri sebelum masuk Raudhah |
Kami
menunggu cukup lama karena yang didahulukan adalah orang-orang Arab dan kami
yang melayu disuruh menunggu. Sementara ustadzah kami mencoba bernegosiasi
dengan penjaganya. Mereka terlihat akrab. Dan disini mulai timbul keinginanku
untuk bisa berbahasa arab. Akhirnya kami bisa sholat di Raudhah pukul 12 lewat.
Sholat disini ngga bisa dibilang gampang, untuk mencapai ke karpet hijau aja
harus ngantri dan berdesak-desakan. “Yah gimana ini, nanti umrahnya jadi ngga
mabrur..” kata ibu-ibu yang mulai putus asa karena kita belum juga dapet
giliran. Akhirnya kami berhasil masuk dan tanpa pikir panjang aku langsung
solat entah itu mau dilangkahin atau keinjek sama peziarah yang lain yang
penting sholat walaupun ga bisa khusyu’. Berdoa secepatnya karena kita ngga
bisa lama-lama, harus gantian sama jamaah lain. Raudhah ditutup jam 01:00 untuk
perempuan sedangkan jumlah peziarah membeludak. Semua karpet di Masjid Nabawi
berwarna merah kecuali karpet di daerah Raudhah. Tapi hati-hati ya kalau
berkunjung ke Masjid Nabawi jangan bawa kamera digital karena takut disita,
jadi lebih aman bawa hape saja. Saat di pintu masuk masjid nanti akan ada yang
ngecek. Terus selama disana bawa kacamata hitam, ini wajib banget karena sinar
matahari menyengat dan selama disana aku ngga pernah liat awan, adanya di Makkah
itupun cuma sekali. Jadi langitnya berwarna biru bersih.
Berziarah
di kota Madinah (10 Mei 2014)
Keesokan
harinya pukul 07:00 pagi kami naik bus untuk ziarah melewati Masjid Ijabah,
Masjid Quba, kebun kurma, Jabal Uhud, Masjid Khondaq, Masjid Qiblatain. Di Masjid
Quba kita sholat sunah 2 rakaat. Selama perjalanan Ustad Rasyid bercerita di
dalam bus kalau jaman dulu ada orang bertanya kepada Rasul kalau jarak
Madinah-Makkah terlalu jauh, mereka bilang itu terlalu sulit untuk melaksanakan
umrah. Akhirnya Rasul bilang bahwa apabila kita solat sunah 2 rakaat di Masjid
Quba, pahalanya sama dengan melaksanakan umrah. Misalnya saat kita masuk ke
masjid, kita sholat tahiyatul masjid 2 rakaat maka pahala sholat tahiyatul
masjid tersebut yang akan dihitung sama dengan pahala umrah. Masjid Quba
merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW saat hijrah ke
Madinah. Madinah sendiri mulanya bernama Yatsrib dan setelah Rasulullah hijrah
dari Makkah ke Yatsrib, nama kota ini dirubah menjadi Madinah. Selanjutnya kami
menuju ke Kebun Kurma Abdul Aziz, disini Ustad Rasyid bercerita juga kalau ada
namanya kurma ajwa dan Rasulullah bersabda barang siapa makan kurma ajwa
niscaya dijauhkan dari segala racun.
Ustad Rasyid membimbing jamaah bus 6 di Masjid Quba |
Sebelum ke Kebun Kurma Abdul Aziz foto bareng dulu :p |
Selesai
dari kebun kurma kami menuju Jabal Uhud atau Gunung Uhud tempat terjadinya
perang uhud pada tahun 3 hijriyah. Sepanjang perjalanan menuju Jabal Uhud Ustad
Rasyid juga menceritakan sejarah berkaitan dengan perang uhud ini. Dimana paman
nabi, Sayyidina Hamzah tewas dan juga sahabatnya, Mus’ab bin Umair. Yang lebih
miris lagi Hamzah tewas dan jantungnya dimakan oleh musuhnya, Hindun. Sedangkan
Mus’ab sang pembawa bendera islam tewas dengan tubuh terpotong-potong karena
saat tangan kanannya dipotong, ia pegang bendera islam dengan tangan kirinya.
Saat tangan kirinya dipotong dia pegang dengan kakinya. Mus’ab ini juga sahabat
yang membantu dakwah Rasulullah di kota Madinah sebelum Rasulullah hijrah ke
Madinah. Dengan itu, meskipun penduduk Madinah belum pernah melihat Rasulullah
tapi mereka sudah iman kepada Rasulullah. Cerita ustad ini menyentuh hati
bagaimana beratnya dulu Rasulullah dan pengikutnya menegakkan agama islam
dibandingkan saat ini kita bisa beribadah secara leluasa tanpa ancaman apapun.
Kita seharusnya sangat bersyukur atas nikmat ini dengan cara meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan. Panas matahari begitu terik karena jarang dan hampir
tidak ada pepohonan di sekitar situ. Kami pun turun dari bus dan diajak
menyaksikan makam 70 syuhada yang meninggal saat perang uhud. Diantara 70 itu
yang bisa dikenali hanya 3 dengan ditandai batu hitam yaitu Sayyidina Hamzah,
Mus’ab bin Umair, dan satu lagi aku lupa. Dulu sebenernya makamnya bukan disini
tapi karena dulu ada banjir jadi dipindah, dan saat dipindah darahnya masih
segar dan ada yang bilang bahwa rambut para syuhada ini juga masih tumbuh. Aku
makin merinding dengernya.
Jabal Uhud |
Setelah
melewati Masjid Khondaq dan Masjid Qiblatain kami kembali ke hotel karena nanti
setelah ashar akan ada manasik lagi dari Ustad Dave. Ustad Dave kembali
menerangkan mengenai tata cara umrah mulai dari niat, mengambil miqot, berihram,
larangan ihram, sampai tata cara thawaf & sa’i plus cara pakai kain ihram
untuk laki-laki. Para jamaah mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Ustad
Dave. Tak lupa ustad Dave juga memantapkan hati kami, beliau mengibaratkan
umrah ini sebagai out bond. Di out bond kita harus melakukan sesuatu
yang diluar zona nyaman kita. Makan ngantri di hotel, masjid agak jauh, dll. Oh
iya makin banyak langkah kita ke masjid makin banyak untungnya loh (maksudnya
makin jauh jaraknya) setiap langkah kaki kanan diberi pahala kebaikan, setiap
langkah kaki kiri diampuni dosanya. Aku mengeluarkan kertas yang berisi jadwal
dan merangkum sedikit peristiwa agar bisa kususun menjadi cerita nantinya. ß behind the scene.
Mama lagi belanja pashmina di depan Masjid Nabawi (dan nawar harga juga) |
Ustad
Dave juga mengingatkan bahwa ini hanya sementara. “Bapak-bapak kalau kepalanya
mau dibotakin nanti aja ya pas umrah kedua.” Iya, karena kita dua kali umrah.
“Kalau mau dibotakin pas umrah pertama juga ngga papa, tapi kalau bisa jangan. Boleh
sih kalau maunya yang kanan dulu, nanti sisanya yang kiri.” Semua tertawa. Di
sela-sela manasik ustad Dave juga melawak kalau ibu-ibu ini pinter sekali.
Sholat lima kali ke Masjid Nabawi, tiap sholat bawa satu tentengan dan tau-tau
kopernya sudah bunting. Semua jamaah tertawa.
Ambil
Miqot dan Melaksanakan Umrah (Minggu, 11 Mei 2014)
Keesekoan
harinya jam 14:30 kami menuju masjid Bir Ali untuk mengambil miqot. Bapak-bapak
sudah pakai kain ihram dan ibu-ibu pun juga. Semua berwarna putih. Sesampainya di
Bir Ali kita langsung sholat sunah mutlak 2 rakaat dan berangkat. Di bus kami
dibimbing Ustad Rasyid membaca niat umrah dan bacaan talbiyah. Labbayk allahumma labbayk, labbaykallaa
syariikalakalbayk, innal hamda wani’mata laka walmulk, laa syarii kalak. Ya
Allah kami datang memenuhi panggilanmu. Aku terlalu bersemangat hingga
mengencangkan suaraku saat membaca bacaan talbiyah di dalam bus menuju Makkah.
Ibu-ibu yang lain pun juga ngga kalah. Lalu ustadnya bilang kalau disunnahkan
bagi laki-laki untuk mengeraskan bacaan talbiyah sedangkan perempuan hanya
cukup didengar oleh diri sendiri. Aku tersenyum malu dan segera mengecilkan
suaraku. Perjalanan siang hari ini dihiasi pemandangan bukit dan gunung pasir
berwarna coklat dan padang pasir. Tidak ada unta yang aku lihat selama
perjalanan disini. Kita juga dihimbau agar tidak dekat-dekat dengan unta karena
diduga virus MERS berasal dari unta. Langit pun mulai gelap dan matahari mulai
sembunyi di balik gunung-gunung pasir. Kami sampai di Dar Al Eiman Grand Hotel
di Makkah sekitar pukul setengah sembilan.
Kami
memasuki hotel dan langsung menuju ke restaurant untuk makan malam. Still, I do not stop my istghfar.
Apalagi sudah di Makkah, harus hati-hati. Aku, mama, papa bergegas menyantap
hidangan dan naik ke atas untuk wudhu dan mengambil koper. Ternyata koper kami
belum tiba dan kami memutuskan ke kamar untuk berwudhu. Menjelang pukul setengah
10 kami menuju lift dan bertemu Ustad Rasyid yang kelihatannya sibuk sekali.
“Ada jamaah yang ganti kaos, padahal kan ngga boleh. Bayar denda nanti.”
Ustadnya bergegas. Aku terdiam dan heran, padahal tadi kan sudah dijelaskan
larangan berihram. Kami tiba di lobby
dan belum banyak jamaah dari bus 6 yang siap. Aku duduk di sofa sambil
memandangi orang-orang. “Don’t see anyone.”
Kata mama menundukkan kepalaku. “Kenapa?” tanyaku ingin tahu. “Nanti kalau kita
lihat kita jadi mikir yang lain-lain.” Aku diam. Aku tak tahu apa yang harus
dilakukan. Akhirnya aku membuka buku do’a kecil yang kudapat dari travel dan
membolak balik melihat. Aku tetap bosan dan akhirnya kembali melihat
orang-orang yang berlalu lalang di depanku sambil sesekali mengkritik dalam
hati perihal penampilan mereka. Bebarengan dengan munculnya kritik di kepalaku,
aku beristighfar banyak-banyak dalam hati. Aku terus melakukannya.
Jam
setengah 10 kami berangkat serombongan ke Masjidil Haram untuk melaksanakan
tawaf dan sa’i. Sebelum masuk Masjidil Haram, Ustad Rasyid betanya, “Ada yang
batal wudhu?” hening, semua jamaah tampaknya serius dan tegang kebelet liat ka’bah.
“Oke bapak ibu tunggu disini ya, saya yang batal.” Para jamaah tertawa. Sebelumnya
kami sholat isya’ dan maghrib dulu diimami oleh Ustad Rasyid. Sejak tiba di
area masjidil haram, aku teringat Mine yang pernah umrah sebelum aku bilang,
“Nanti di masjidil haram kamu pasti nangis deh Fan.” Dan aku mulai berpikir
kalau dia salah. Aku masih merasa belum ingin nangis. Masjidil Haram tidak
kalah luas dengan Masjid Nabawi. Aku yang masih awam tidak tahu dimana letak
ka’bah. Aku hanya memandang sekeliling mengagumi arsitektur masjid suci ini.
Sebelum mulai tawaf aku berdo’a agar wudhuku ngga batal sampai putaran ke
tujuh.
Setelah itu kami perlahan menuruni tangga,
yang ternyata menuju ka’bah. Kulihat bangunan kubus dilapisi kain hitam di
depan mataku langsung. Diputari oleh banyak orang. Dihiasi bintang-bintang
malam ini dan dinginnya udara makin menambah keindahan bangunan yang dijadikan
tempat menghadap bagi ummat islam di seluruh dunia. Berbagai kalimat pujian
kepada Allah SWT dilantunkan membuat hatiku berdebar-debar. Subhanallah aku tak
henti mengucap tasbih dan segala kalimat syukur yang kutau karena akhirnya aku
bisa melihat ka’bah yang selama ini hanya kulihat dari tv dan media sosial
lainnya. Ka’bah sebagai tempat menghadap semua umat Islam saat sholat.
“Ternyata selama ini aku memiringkan sajadahku ke kanan sedikit untuk
mengahadapnya.” Aku tak kuasa menahan tangis yang makin lama makin jadi. Disini
aku mulai sadar bahwa apa yang dikatakan orang-orang itu benar (HAHAHAHA).
Ustad Rasyid memimpin do’a melihat ka’bah dan aku menirukannya sambil
sesengukan nggak karu-karuan. Ternyata ka’bah gede sekali dan begitu banyak
orang yang tawaf mengelilinginya. Sebelumnya Ustad Rasyid menjelaskan bagian
ka’bah yakni rukun yamani, hajar aswad, hijr ismail (setengah lingkaran di
samping ka’bah: disini tempat mustajab buat berdo’a. Doanya pasti dikabulkan.)
dan maqam Ibrahim (tempat kaki nabi Ibrahim dulu saat membuat ka’bah. Setelah
tawaf kita sholat sunah 2 rakaat di belakang maqam Ibrahim, disini tempat
mustajab juga buat berdoa). Kami memulai tawaf dengan meluruskan bahu terhadap
hajar aswad kemudian mengangkat tangan kanan seraya mengucap “bismillahi allahuakbar”. Ustad Rasyid
memimpin bacaan dzikir dan diikuti oleh kami sampai akhir putaran ke tujuh lalu
kami sholat di belakang maqam Ibrahim dan
berdo’a. Tawaf tujuh kali tidak terasa sama sekali, bahkan aku ingin
lagi, lagi dan lagi. Selama dua putaran tawaf pertama aku masih tidak bisa
menahan tangisku disela-sela membaca “Subhanallah
walhamdulillah walaailaahaillallah huallahuakbar walahaula walakuwata illa
billa”.
Papa & Ustad Rasyid |
Selesai Umrah pertama. Ini di terasnya Masjidil Harram gate one. |
Setelah
itu kami menuju tempat air zamzam untuk minum kemudian sa’i antara bukit Shafa
dan Marwah. Awalnya aku meremehkan sa’i paling jalan bentar aja. Ternyata kaki
saya sakit sekali apalagi telapak kaki. Kupandangi jam yang menunjukkan pukul 2
dini hari, aku ingat lagi kata temanku yang sebelumnya juga sudah pernah umrah,
Osa. “Disana pasti nggak ngantuk, Fan.” Dan dia benar. Aku tidak merasa ngantuk
sama sekali. Ustad Rasyid membaca keras sepatah kata demi kata dan selanjutnya
ditirukan oleh jamaahnya. Orang yang juga melaksanakan sa’i di samping kami
melihat begitu kompaknya kami sehingga dia jb alias join bareng dan ikut juga
menirukan bacaan do’anya. Akhirnya bolak balik tujuh kali Shafa-Marwah selesai.
Selanjutnya kami melakukan tahalul yaitu memotong minimal 3 helai rambut yang
sekaligus menandai selesainya umrah ini. Kami pulang ke hotel bersama-sama dan
aku baru tidur pukul 3 dini hari tanpa sedikitpun rasa mengantuk. ---Coba baca
artikel mengenai keajaiban ka’bah.---
Sa'i antara bukit Shafa dan Marwah |
Memperbanyak
ibadah di Masjidil Haram (Senin, 12 Mei 2014)
Keesokan
harinya bangun agak telat dan baru menjelang sholat waktu sholat dzuhur
berangkat ke Masjidil Haram. Disana aku ketemu bayi lucu namanya Sufyan. Dia
ngga rewel walaupun mamanya ngaji dan sholat. Mama mulai pdkt dengan si bayi
dan menepuk kedua tangannya sambil berkata, “Can you do that?” si bayi hanya tersenyum. Ibunya bilang, “It’s Sufyan.” Dan mama dengarnya, “Who? Shane?” masyaAllah disini masih
ingat-ingat Shane hahaha.
Di
tempat ramai kami berusaha membentengi diri dengan memakai masker dan menjauh apabila
ada jamaah-jamaah yang batu pilek kronis. Karena seperti informasi yang kita
dapat dari internet kalau salah satu gejala MERS adalah flu dan batuk. Namun
ini tidak sedikit pun mengurangi kekhyusu’an saat beribadah. Dan sejak itu, aku
dan mama punya kebiasaan hunting bayi waktu ke masjid ataupun pulang dari
masjid. Bayi orang sana lucu-lucu, matanya belo dan hidungnya mancung. Cakep
banget deh pokoknya.
Sholat
di Masjidil Haram ini lebih utama daripada 100.000 sholat, tak heran jika
masjid ini tidak pernah sepi dari jamaah yang datang dari seluruh penjuru
dunia. Sebisa mungkin aku dan mamaku berusaha mendapat tempat sholat di lantai
1 karena bisa secara langsung memandang ka’bah. Entah kenapa setiap memandang
ka’bah hati rasanya tentram dan bahagia. “They
say New York never sleeps. They haven’t seen Makkah yet.”
Ziarah
di kota Mekkah dan Miqot untuk Umrah Kedua (Selasa, 13 Mei 2014)
Keeseokan harinya
kita ziarah lagi dan berangkat dari hotel jam 07:00 setelah sarapan pagi.
Sebelumnya aku sholat subuh dulu di Masjidil Haram bareng mama, karena
berangkatnya kesiangan kita jadi dapat di lantai 3 dan apesnya lagi lupa bawa plastik
tempat sandal. Subhanallah tau-tau ada plastik terbang pas di depanku sama
mama, plastik yang memang disediakan di Masjidil Haram tapi cuma di lantai 1
dan itu tiba-tiba ada di lantai 3. “Subhanallah, Yaa Allah, ini punya siapa?”
kata mama sambil menengok ke arah datangnya plastik. Dan tidak ada seseorang
yang nengok balik yang menandakan kehilangan plastik itu. Tanpa ragu dan penuh
syukur, kita gunakan plastik itu untuk tempat menyimpan alas kaki.
Setelah
sholat subuh kita mencoba tawaf sunnah berdua, nekat. Aku merasakan tergencet sedikit
dan ngga bisa napas. Aku menengadahkan kepalaku ke langit agar bisa bernapas
karena yaa maklum orang disana kan tinggi-tinggi besar. Dan kunciran rambutku
hilang waktu tawaf. I just can laugh,
aku ngga bawa kunciran lagi dan akhirnya pake karet sayur ya ya ya ha ha ha.
Habis thawaf sunnah foto dulu sama ka'bah buat kalo kangen..... |
Lalu
kami kembali ke hotel untuk sarapan. Setelah semua naik di bus, dengan sabar
Ustad Rasyid mengabsen satu satu jemaahnya yang kadang ilang ngga tau kemana.
Tujuan pertama kita adalah Jabal Tsur atau Gunung Tsur, di atas gunung tsur ada
goa tempat bersembunyinya Rasulullah SAW dulu dari kejaran orang kafir quraisy.
Selama perjalanan seperti biasa Ustad Rasyid selalu menceritakan sejarah yang
berkitan dengan tampat yang akan kita tuju. Setelah itu bus menuju Padang
Arafah dan Jabal Rahmah, nah ini nih yang dinanti-nanti orang-orang yang mau
minta jodoh. Di Jabal Rahmah ini sangat mustajab juga memohon do’a diberi
jodoh. Jabal Rahmah sendiri artinya gunung kasih sayang. Disini adalah tempat
pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa setelah 40 tahun berpisah. Konon katanya Nabi
Adam diturunkan di India sedangkan Siti Hawa diturunkan di Jeddah. Kami melewati
Mudzalifah dan Mina kemudian menuju Masjid Ji’ronah untuk mengambil miqot dan
melaksanakan umrah kedua. Umrah kedua ini bisa diniatkan untuk orang yang sudah
meninggal. Sesampainya dimasjid ini tempat wudhunya antri banget dan daerah
sekitarnya sangat kering dan panas. Banyak dijumpai penjual air, aku dan mama
tanpa pikir panjang langsung membeli air tersebut daripada menunggu antrian
yang padat. Disini membuatku berpikir dan besyukur Indonesia belum pernah
kekurangan yang namanya air. Air selalu melimpah dimana-mana. Cuman di
Indonesia kalah tata kota sama Arab. Salutnya sama Arab karena mereka walaupun
negaranya cuma padang pasir tapi bisa memaksimalkan. Disini aku berharap kalau
Arab aja bisa, kenapa Indonesia yang lebih subur dan makmur ngga bisa. Mungkin
juga karena melimpahnya sumber daya alam, kita jadi terlalu dimanja.
Jabal Tsur |
Setelah
berganti pakaian ihram kami kembali ke hotel untuk makan siang dan sholat
dhuhur. Pukul13:30 kami beragkat bersama-sama ke masjidil haram untuk
melaksanakan umrah kedua. Sama seperti umrah pertama. Dari tawaf sampai
tahalul. Hanya beda niat. Saat akan ke tempat sa’i, Ustad Rasyid mengecek
kembali jamaahnya. “Udah lengkap ya?” Tanya ustad. Lalu di belakang ada yang
berseru, “Ustad, istri saya ketinggalan. Sebentar ya.” Jamaah itu kembali ke
tempat sholat di belakang maqam Ibrahim. Dan kurang 1 jamaah laki-laki lagi,
setelah dicari sama ustadnya ternyata ketemu dan jamaah ini matanya
berkaca-kaca, “Saya terharu ustad.” “Subhanallah..” kata Ustad Rasyid sambil
tersenyum. Aku tersenyum setengah geli. Sabar banget ya jadi ustad sekaligus guide ini, yang jamaahnya istrinya
ketinggalan, ada yang teharu. Wah macem-macem deh. Tapi pahalanya udah jelas
besar sekali.
Memperbanyak
ibadah di Masjidil Haram (Rabu, 14 Mei 2014)
H-2
sebelum kembali ke Jakarta kami tidak punya jadwal apa-apa dan hanya
memperbanyak ibadah di Masjidil Haram yang kata Rasul lebih baik daripada
100.000 sholat. Sehabis solat duha aku pengen banget pegang ka’bah dan sholat
di hijr ismail. Alhamdulillah semua kesampaian, dan menitikkan air mata lagi.
Hahaha rempong parah nih. Saat pulang bau parfum ka’bah masih nempel dan
tercium jelas di kedua telapak tanganku. Subhanallah. Nggak pernah terbayang
bisa sedekat ini sama ka’bah dan bahkan menyentuhnya.
Tawaf
Wada’, Corniche, Laut Merah, Pulang ke Indonesia (Kamis, 15 Mei 2014)
H-1
kami melaksanakan tawaf wada’ atau tawaf perpisahan setelah sarapan, sekitar
pukul 9. Kami mengenakan batik arminareka dan berangkat bersama dipandu oleh Ustad
Rasyid. Setelah selesai solat di belakang maqam Ibrahim kami diingatkan oleh
ustad bahwa sudah nggak boleh beli-beli alias shopping di Makkah. Jam 14:00 bus kami berangkat menuju Jeddah,
disana kami mampir ke Corniche untuk belanja oleh-oleh. Sebelum bus menuju Laut
Merah, beberapa pedagang asongan masuk menawarkan parfum seharga 100.000
rupiah, mereka mau dibayar pake rupiah. Mama sibuk menolak tawaran si penjual
yang terkesan ‘agak maksa’. “Sama ini.” Kata si pedangan sambil menunjukkan
uang 100.000 rupiah. Mama melambaikan
tangan tanda ngga mau beli sambil bilang, “tidak suka pakai parfum.” Tapi si
penjual tetep maksa. Akhirnya papa masuk ke bus. “Seperti orang arab.” Kata si
pedagang tadi sambil menunjuk papa. Aku ketawa. Bukti nih bukti. Akhirnya
sekitar pukul 17:00 bus kami kembali melaju menuju Laut Merah.
Foto (lagi) sama ka'bah sebelum meninggalkan Makkah. Hiks. I know I'm gonna miss this place sooo much. |
Laut Merah dan Masjid Terapung |
Ustad
Rasyid juga bercerita kalau harga bensin disini 1 real dapat 2 liter. “Oooh
pantes ustad nggak pulang-pulang (ke Indonesia, udah 4 tahun)” celetuk salah
satu bapak-bapak di belakang. Selanjutnya ke Laut Merah tempat dulu Nabi Musa
mengalahkan Raja Fir’aun. Disepanjang perjalanan kami melewati Masjid Qisas dan
istana Raja Faisal. Perjalanan ke Laut Merah diiringi rasa haru karena hanya
sampai Laut Merah Ustad Rasyid menemani kami karena akan ada jamaah lain yang
datang. Perlahan bus mendekati Laut Merah, aku tak kuasa menahan tangis namun
kututupi dengan masker dan kacamata hitamku. Ustad Rasyid memohon maaf apabila
ada kesalahan selama disini, kami pun juga mohon maaf. Setelah semua berkumpul
di dalam bus sekitar pukul 18:30 kami bersalaman dan saling minta maaf.
Bapak-bapak di belakang kemudian menyeletuk, “Ustad, kalau ke Jawa Timur
kabar-kabarin saya yang di Jakarta ya.” “Semoga cepet dapet jodoh ya ustad.”
“Semoga dapat istri yang sholehah.” Ustad Rasyid turun dari bus dan melambaikan
tangan dari pinggir. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca yang seakan tak rela
hanya mengantar kami sampai Laut Merah. Pak supir pun melaju ke bandara King
Abdul Aziz. Perjalanan sepi tanpa celoteh dari Ustad Rasyid. Mungkin perasaanku
dan semua jamaah sama bahwa kami masih belum rela pergi dari sini. Suasana
hening dan hanya salah satu dari jamaah yang sibuk membagikan paspor.
Sesampainya di bandara, kami menunggu sekitar 2 jam sebelum masuk ke tempat
check in. Ustad Dave membagikan boarding
pass para jemaah satu per satu dengan sabarnya. Memanggil nama jamaah
segitu banyaknya. “Kok ngga ada yang bantuin ustadnya ya?” tanyaku pada mama
sambil memandang Ustad Dave yang sibuk. Kami masuk dan menunggu di waiting room. Pesawat kami pun tinggal
landas sekitar pukul 00:07 waktu Jeddah.
Seperti
semua perpisahan yang selalu diiringi rasa haru . Aku (masih) tak kuasa menahan
tangis saat melaksanakan tawaf wada’. Semua seakan berlalu terlalu cepat dan
makin cepat. 7 hari di Saudi Arabia merupakan 7 hari terbaik dalam hidupku.
Berawal dari sesuatu yang sama sekali diluar perkiraanku yang aku pikir ini
mungkin mimpi bisa pergi ke tanah suci yang selama ini tak luput dari setiap doaku.
Perpisahan dengan ustad pembimbing sekaligus guide kami yang selama ini melayani kami dengan baik dan tak pernah
sekalipun aku melihatnya cemberut. Dia selalu sumringah dan murah senyum pada
tiap orang. Kalimat perpisahan dari Ustad Rasyid yang membuatku sadar kalau
hidup kita ini memang cuma sementara, “Kalau nanti kita ketemu di Indonesia
jangan lupa nyapa, nanti insyaAllah kalau saya ingat saya nyapa, tapi kalau
saya ngga ingat ya nyapa aja. Kalau ngga sempat ya nanti semoga kita ketemu
lagi di surganya Allah SWT.” Nyesssssss banget. Di Laut Merah tadi tak sengaja
aku menyanyikan lirik lagu What Makes A
Man, “This isn’t goodbye even as I watch you leave this isn’t goodbye. I swear
I won’t cry. Even as tears fill my eyes I swear I won’t cry.” Dalam hati
aku sangat berharap bisa kembali lagi kesini dan bertemu semua orang-orang
terbaik selama perjalanan ini. Semoga ibadah kami semua diterima oleh Allah
SWT. Oh iya! Salah satu ciri ibadah umrah diterima oleh Allah adalah membaiknya
diri kita. Misalnya yang semula ngga rajin sholat jamaah jadi rajin. Dan kalau
ibadah umrah kita tidak diterima, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Naudzubillah.
Akhirnya
pesawat kami mendarat kembali di tanah air dengan selamat. Para jamaah
berkumpul di baggage claim untuk
mengambil koper. Sementara aku mengantri air zamzam di sebelahnya. Ustad Dave
membantu sekaligus mengawasi pembagian ini. Aku menyerahkan 3 paspor ke petugas
bandara. Dan aku belum kepikir gimana caranya bawa 3 air zamzam 30 liter itu.
Aku bawa satu-satu aja kali ya? Berat juga ternyata. Ustad Dave membantuku dan
aku agak sungkan ini hehe.
Kami
berpisah di Bandara Soekarno-Hatta. Aku dan mama pamitan dengan Ustad Dave dan
beliau memberi kami kartu namanya. Aku sangat berharap bisa bertemu lagi dengan
beliau lain waktu. Ya Allah terima kasih atas segala nikmat yang Kau berikan
yang aku pun tak sanggup menebusnya.
Setelah…..
Ternyata cerita
umrah ini tak ada habisnya, sama seperti saat aku pindah dari Balikpapan ke
Malang aku menangis dan sedih sejadi-jadinya. Dan aku berpikir, mungkin tempat
itu terlalu indah dan semua kenangannya memang susah untuk dihilangkan begitu
saja. Rasanya ingin mengulang semuanya kembali saat Ustad Dave mulai manasik
hingga kembali ke Soekarno-Hatta. Pernah saat aku tidur sore jam 3, (nanti jam 4
bangun) aku bermimpi seakan ada orang yang bilang, “Ayo cepetan bangun sholat
ashar habis itu tawaf.” Di mimpiku yang terlihat hanyalah gambar ka’bah yang
agak kabur. Aku terbangun dan malah makin ngga bisa move on. Ya Allah kapan aku diundang kesana lagi? Mau tidur malam
pun susah keingat kebiasaan di sana tidur jam 10 ke atas saking senengnya ke
Masjidil Haram. Dan bangun jam 3 pagi buat Tahajud dan Subuhan disana. Buka
hape dan lihat foto-foto selama disana bikin makin teriris-iris karena
kangennya. Ternyata bener apa yang dibilang Osa kalau udah kesana pasti kangen
banget. Dan fyi, aku juga ga percaya awalnya sama dia yang udah pernah umrah
duluan. Di waktu senggang, bengong mikirin semuanya disana. Rasanya masih kayak
mimpi dan nggak nyata. 7 hari yang biasanya terasa lama disini seakan terasa
cuma beberapa detik di sana. Pengalaman ini memang yang pertama, yang terbaik,
dan tak terlupakan. Dan aku berharap bisa diundang lagi ke sana bersama mama,
papa, dan orang-orang lain yang belum pernah kesana. Aamiin.
PS : Aku menulis
cerita ini bertahap tidak sekali jadi. Aku ingin cerita ini detil hingga setiap
aku membacanya aku akan ingat persis setiap detil kejadian disana. Semoga yang
membaca juga turut asyik ya! Hehehe =)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar