Ngga jarang waktu kita naik angkutan umum atau
sedang mengendarai kendaraan pribadi tiba-tiba ada yang nyerobot, ngeklakson
gara-gara lambat atau macet yang ngga ada ujungnya. Disini pengalaman pribadiku
sewaktu pertama kali merasakan ‘keras’nya Jakarta. Disana-sini macet dan ngga
bisa diprediksi kapan lancarnya. Kalau kita berangkat kesiangan dikit aja udah
ngga bisa jalan sama sekali, horrible!
That’s what in my mind when I saw traffic
jam in our capital city, Jakarta.
Waktu itu hari pertama masuk sekolah, hari
pertama MOS SMAku di Jakarta. Seperti hari-hari sebelumnya, aku, mama, dan papa
berangkat jam 6 kurang 15 menit dari rumah. Dan belum sampai 1 km, mobil ngga
bisa gerak sama sekali. Padat! Sepeda motor pada ngeklaksonin sana-sini sembari
nyerobot nyari jalan diantara celah-celah mobil. (really, I hate this situation so much). Mobil sama sekali ngga
bergerak selama 30 menit, waktu menunjukkan pukul 6 lewat 15 sekarang dan itu
artinya 15 menit lagi gerbang sekolah bakal ditutup. Aku diam di dalam mobil
dan tenang, tidak ada perasaan takut terlambat sama sekali. Sampai melihat
pengendara mobil di depan pada turun dari mobil dan memilih jalan kaki. Hampir
semua turun dari mobil. Keadaan tambah kacau waktu sepeda motor udah ngga bisa
‘nyelip’ lagi di celah-celah mobil. Akhirnya, aku sama mama milih turun dari
mobil dan jalan sekitar 1,5 km. Ojek disana-sini udah pada fullbook. So how could I go
to school? Sekolah masih 2 km lagi. Dan akhirnya di perempatan kedua di
daerah Pondok Kopi, ada ojek 1 biji. Tanpa pikir panjang aku sama mama langsung
ngebooking ojek itu. “SMA 44 ya,
pak!” kata mama. Ngga sempat mikir orang-orang pada ngeliatin diriku yang aneh,
pake jilbab yang diatasnya ada 4 buah pita merah sambil bawa nametag yang talinya dari tali jemuran
warna kuning. Hhhhh I just didn’t care
about it anymore. Yang penting aku nyampe sekolah dan ngga telat. Kulirik
jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul setengah 7 kurang 2 menit ketika
(akhirnya) bang ojek nyampe di depan gapura sekolah.
Sejak saat itu, aku, mama, dan papa sepakat
berangkat dari rumah jam 5.30. jam segitu di Jakarta masih gelap, lampu jalan
masih menyala. Bahkan aku baru denger ayam berkokok, ini mungkin ayamnya yang
semalem begadang jadi dia berkokoknya kesiangan atau mungkin dia lagi pengen
berkokok jam segitu. But that’s so much
better than stuck in the unpredictable traffic jam. INI JAKARTA. INI
JAKARTA. Tegasku sekali lagi. Mata sepet dan masih klangopan harus disingkirkan daripada telat ke sekolah.
Sampai sekolah bukan cuma itu tantangannya,
aku yang ngga biasa ngomong “Gue” “Lo” seakan diwajibkan ngomong pake 2 kata
ini. Semua orang ngomong pake itu. “I
can’t do this. This is not me.” pikirku. Haruskah? Haruskah? Pikirku tambah
miris. Akhirnya dengan logat medokku (kata temen-temen), aku tetep ngomong
menggunakan kata-kata tercinta, “Aku” “Kamu” Alhamdulillah yah :’)
Ketemu banyak anak-anak yang megang blackberry, iPhone, iPod aku jadi
teinget sama pesen papa “Ojo dumeh (jangan
sok), Ojo kagetan (jangan gampang
kaget), Ojo gumun”. Oke, aku
ngeliatnya jadi biasa aja, aku cuma butuh penyesuaian diri ‘beberapa waktu’
disini, di Jakarta. Dan dari sini aku memahami 1 pelajaran penting, “salah satu saat paling sulit dalam hidup adalah saat kita harus beradaptasi dengan
lingkungan dan keadaan baru yang berbeda dari keadaan kita biasanya.” Anak
Jakarta rata-rata supel. Aku? Aku jadi jutek dan bête banget di sekolah
gara-gara tiap pengen ngomong, “Gue” dan “Lo” susah banget keluar dari mulut
ini. Sedikit ada rasa minder, anak-anak disini stylish. Sekilas, itu hal ‘ngeri’ yang saya lihat di Jakarta. Tapi,
apapun yang terjadi kita harus memandangnya dari hal positif. Ambil sisi
positif. Jangan sampe kita bête atau ada perasaan bête yang bikin cepet down. Be strong is the only way.
[QUOTE] “Aku mulai mengenal Jakarta,
membencinya, mencintainya, membencinya, dan mungkin akan terus begitu.” (Iwan
Setyawan – 9 Summers 10 Autumns)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar