Assalamu’alaikum,
pembaca setia.
Ramadhan
dan lebaran kali ini menjadi sangat spesial untukku karena (akhirnya) aku
pulang kampung setelah 2 tahun ngga pulang. Ya, kota Malang adalah tempat
dimana aku lahir dan menghabiskan sebagian besar waktu hidupku. Kemana pun SK
mamaku membawaku, aku akan selalu merindukan Malang dan hatiku takkan pernah
berpaling dari kota ini.
Rabu, 23 Juli 2014 tepat pukul 21.00
WIB aku, mama, papa, dan om GT berangkat dari rumah di Bekasi menuju Malang.
Mobil sedan yang kami gunakan bisa dibilang sesak karena bawaan yang cukup
banyak. Aku sendiri pun tidak bisa duduk nyaman di jok belakang. Suasana 10
malam terakhir di bulan ramadhan sangat melekat, menebak-nebak kapan datangnya
malam 1000 bulan. Tol demi tol, kota demi kota kami lewati hingga akhirnya kami
sampai di Gresik pukul 2 dini hari pada 25 Juli 2014. Di rumah bulbul (tanteku)
kami hanya numpang mandi, sahur, dan sholat subuh lalu melanjutnya perjalanan
ke Malang tanpa om GT. Aku membuka twitterku lewat dabr dan kulihat tweet dari
ustad Felix yang bilang bahwa malam lailatul qadr mungkin adalah tadi malam
karena menurut hadits jika ada 10 malam terakhir ganjil yang jatuh pada malam
Jum’at maka kemungkinan besar itu adalah malam lailatul qadr. Aku merasa cukup
kecewa karena semalaman aku tidur selama perjalanan. Namun kusempatkan berdo’a
setelah sholat tarawih dan witir di dalam mobil. Alhamdulillah tarawih ramadhan
kali ini ngga ada yang bolong (kecuali pas haid). Hooray!
Langit terlihat mendung dan matahari
masih malu-malu menampakkan diri disela awan abu-abu. Hanya sedikit berkas
cahaya yang terlihat. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi dan seharusnya di
Jawa Timur matahari sudah cukup tinggi. Aku mulai berkeyakinan kalau tadi malam
memang malam lailatul qadr. Akhirnya mobil kami sampai di depan rumah kami yang
selama ini kurindukan, sangat. Aku bergegas turun dan masuk. Menikmati sejenak
sejuknya udara pagi dan suara gesekan dedaunan di kebun papa. Rumah ini tidak
berubah sedikit pun. Menjelang adzan maghrib, tak juga ada kabar dari Vicko
apakah dia jadi ke rumah mau minjem buku atau engga. Aku sibuk membantu mama
menyiapkan menu buka puasa. Kudengar ringtone handphone sony-ku berbunyi.
“Halo?” “Fan, aku di depan rumahmu.” Aku bergegas berlari keluar dan membukakan
pintu pagar untuknya. Kami mengobrol sebentar dan awalnya Vicko malu-malu mau
ikut buka puasa di rumah. Akhirnya dia setuju. Sudah 2 tahun aku ngga ketemu
sama teman SMP-1-semester di Malang, ngga ada yang berubah sama sekali darinya.
Rumah mulai ramai keesokan harinya
karena tanteku plus keluarganya dari Semarang dan Jember datang untuk
menghabiskan lebaran disini. Azka, keponakanku dari Dik Ronnie dan Mbak Dini
membuat suasana di rumah makin ramai. Aku sadar kalau aku mulai tua dengan
kehadirannya. Mungkin anak dari bude atau tanteku yang lain sudah lebih dulu
lahir dibandingkan Azka yang baru berumur setahun, tapi mungkin karena
perbedaan usia yang tidak terpaut jauh aku masih menganggap yang seharusnya
keponakanku itu sebagai adik sepupu. Aku adalah yang termuda diantara semua
saudara papaku karena papaku menikah paling terakhir. Nasib, masih kecil udah
dipanggil “mbak” atau “kakak” sama yang lebih tua. Kalau sungkeman sama eyang
dulu paling mbuncil gara-gara paling kecil. Sometime
I am still in a denial.
Lebaran kali ini sepi tanpa
kunjungan ke rumah eyang baik dari mamaku atau dari papaku. Eyang kakung dari
papa meninggal tahun lalu sedangkan eyang putri dari mama meninggal 2 tahun
lalu. Cukup aneh menurutku suasana lebaran tanpa sungkeman dan dirayakan
terpisah dengan saudara-saudara yang lain. Kadang masih terdengar jelas di
dalam ingatanku saat eyang putri nelpon dan selalu tanya, “lagi lapo, nduk?
Sinau?” haduh aku pengen nangis nulis ini. Keinget juga eyang kakung yang dulu
suka ngajarin aku pelajaran bahasa jawa. Waktu memang harus kita syukuri dan
gunakan sebaik-baiknya.
Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu
akbar. Laailaahailallahuallahuabar. Allahu akbar walillaa ilham. Suara takbir
bersahut-sahutan. Malam itu aku bbman dengan ustad Dave soal mengucapkan
selamat lebaran akan lebih terasa kalau tidak lewat broadcast message. Betul
sekali, walaupun tanganku capek dan hapeku panas aku jadi lebih merasakan makna
dari ucapan selamat lebaran ini. Hal yang kuamati, lebaran bukan sekedar ajang
berkirim pesan atau kunjungan ke sanak saudara dan kerabat tapi juga lebih ke
kesadaran akan kesalahan diri di waktu sebelumnya dan rencana kedepannya agar
bisa menjadi lebih baik terhadap sesama.
Lebaran hari pertama kami berkunjung
ke rumah bude Ana di bumiayu dilanjutkan ke rumah om Joko. Disini ternyata ada
keponakan kecilku juga namanya Marko yang dipanggil Coco. Yaampun duhai tante
Fany (?). Setelah itu kami melanjutkan berkunjung ke rumah bude Tarmi di daerah
Bandulan. Arsitektur rumahnya membuatku jatuh cinta, bukan tipe rumah megah
tapi unik. Aku suka rumah tingkat dan agak berbelit-belit, misterius tapi seru.
Lebaran hari pertama benar-benar penggendutan. Kunjungan kita ini selalu
disuguhi makanan yang membuatku ngga bisa nahan. Galaunya adalah saat perut
kita laper tapi pengen pup di waktu bersamaan. Hadeuh rempong. Akhirnya sampai
rumah menjelang maghrib dan semuanya tepar.
Lebaran hari kedua kita open house,
bener aja yang dateng beruntun dan bejibun. Sanak saudara, teman lama datang ke
rumah untuk silaturahmi. Menu lebaran yang wah lagi membuatku tak tahan untuk
segera menyerbunya. Aku mulai berpikir gunanya puasa mungkin untuk menahan
nafsu makanku yang mulai ngga keruan waktu lebaran ini. Menu lebaran hari kedua
adalah opor…opportunity untuk memilikimu hahahaha. Masakan Bu Mul memang nggak
ada duanya, apapun yang dimasak selalu sempurna dan enak. Ya Allah, apa nasib
berat badanku nanti kalau balik ke Jakarta? Lebaran hari ketiga tante-tanteku
dan keluarganya pulang ke kota masing-masing dan gantian tante-tanteku dari
Surabaya yang nginep di rumah. Walaupun ngga serame kemarin tapi cukuplah rame
(?). Lebaran hari keempat Vicko, Danu, Tyo, Ofi main ke rumah. Kita ngobrol
cukup lama di lapak kita, di deket kolam ikan di rumah. Kebanyakan kalau kumpul
sama temen lama sukanya flashback kalau ngga nanyain kesibukan sekarang,
sesekali kita juga membicarakan masa depan. Iya, kan udah gede, udah punya KTP.
Hari apa itu lupa mereka ke rumah dari habis tarawih sampe jam 11 malem |
Hari Jumat, lebaran hari ke sekian
aku dan tante-tanteku dari Surabaya mengunjungi buyutku di daerah kepanjen.
Buyutku ini sudah berumur 97 atau 98 tahun gitu. Secara silsilah ini bukan
buyut langsung, buyut ini adalah kakak/adiknya buyutku. Ribet ya kalau mikirin
silsilah. Sampai disana, kita langsung silaturahmi ke rumah eyangku juga. Eyang
ini juga bukan eyang langsung tapi om-nya mamaku. Dari sini eyang-omnya-mamaku
cerita kalau disini banyak saudara, entah darimana silsilahnya aku cuma
mendengarkan eyang yang bercerita dengan bahasa jawa. Aku ngerti kok. Akhirnya
kita pergi silaturahmi ke rumah eyang/buyut/saudara di kepanjen tadi yang belum
pernah aku ataupun mamaku temui. “Ma, ini siapa sih?” “Mama juga ngga tau.”
Kadang tumbuh dewasa ini membuatku takut akan gimana nanti seandainya aku tidak
bisa menjaga hubungan silaturahmi antar saudara jauh yang dekat ini? Such a long relationship. Aku curhat
sama mama dan katanya lakukan semampuku aja. Aku yang dulunya kaku dan jaim
kalau ketemu orang sekarang jadi meluweskan diri, belajar bersosialisasi sama
keluarga besar. Aku yang dulunya phobia sama anak kecil sekarang berusaha main
sama mereka. Lama-lama asik juga. Maybe
some of you are wondering why aku phobia sama anak kecil, yakan? Dulu
menurutku anak kecil itu cuma bisa merepotkan, nangis lah minta ini itu, aku
sumpeeeek. Dulu ya dulu, semakin dewasa aku sadar dulunya aku juga pernah kecil
dan berperilaku seperti itu hahahaha. Akhirnya mulai melunakkan diri. Mungkin
karena efek jadi anak tunggal, pusat perhatian selalu padaku, saat ada anak
kecil pusat perhatian jadi beralih dan aku merasa ngga diperhatikan penuh. Tapi
ya begitu, kita yang lebih dewasa harus bisa luwes dulu dan paham kalau anak
kecil memang butuh perhatian lebih. Turunkan ego. Dan ternyata usahaku
membuahkan hasil, mama cerita kalau tante Nik dan om Djo’ memujiku karena
keluwesanku nemoni tamu-tamu. “Lha iyo iku, om. Mbiyen cilikane jaim, kuper.
(Lah iya itu, om. Dulu waktu kecil jaim, kuper.” Jawab mama. Papa juga
memujiku, “kamu hebat sekarang bisa nemoni tamu dengan enak, apalagi berani
nanya duluan.” “Yaa kalo ani ngga nanya duluan ngga mulai dong, pa.” jawabku
santai.
Sabtu adalah hari yang kami harapkan
jadi hari terakhir terima kunjungan tamu. Tamu bejibun sama seperti
kemarin-kemarin. Hari ini adalah hari istimewa karena aku akan menerima
kunjungan (azek, bahasanya jadi formal gini) dari Putri dan temen-temen
Jupanca: Vicko-Danu (udah sepaket mah ini dari kemarin-kemarin juga udah sering
main ke rumah), Sarah, Fitri, Safira. Alhamdulillah yah daripada ngga ada acara
kumpul-kumpul sama sekali. Lapak kami tetap, di deket kolam ikan. Sebelum
mereka datang, seperti biasa kalo mau ketemu orang banyak aku grogi dan
memikirkan sesuatu berlebihan sampai kepalaku sakit hahaha. Sekitar pukul 10.00
kudengar seruan, “Faaanny!” eh ternyata Putri dateng bareng kakak sepupunya. Dia
masuk membawa brownies Amanda yang kemarin sempat aku lewati tapi ngga mampir. She knows me well. Kakak sepupu Putri
ternyata mahasiswi FKG UNEJ yang lagi koas. Aku sibuk mengkepoin mbaknya. Dia juga
cerita kalau pas MOS ada yang jerit-jerit pas liat mayat. Aku bersyukur dalam
hati karena sejujurnya aku takut liat mayat. Mungkin karena belum biasa ya.
Aku & Putri |
Pukul 10.45 Fitri datang disusul
Danu pukul 11.00. Danu sama seperti Vicko, tidak berubah sama sekali. Tetep lucu
dan menyebalkan. Ekspresinya juga tidak berubah, tetap datar dan mirip Patrick
temennya Spongebob. Dia bertambah tinggi menjadi 181 cm dan terlihat lebih
dewasa. Akhirnya semuanya berkumpul dan kami mulai chit chat, seperti
kemarin-kemarin aku dibully. “Kamu yakin disana (Jakarta) kamu ngebully orang,
Fan?” tanya Danu sambil ngakak. Aku diam. “Lha lek awak’e dhewe ndik kono lak
merajalela, ko. (Lah kalau kita disana merajalela, ko)” kata Danu masih ngakak
kepada Vicko. Mereka pun ngakak berdua dan kompakan membullyku. Aku mulai
teringat satu orang yang suka kubully, Ides. Cewek cantik putih nan polos yang
langganan jadi bahan bullyan waktu les. “Kualat nih. Kudu sungkem Ides.” pikirku.
Setiap aku ngomong berasa salah terus. Jadi
kubiarkan mereka bercerita dan aku yang mendengarkan. Satu per satu mulai
menceritakan pengalaman masing-masing atau sekedar flashback masa SMP dulu. Dan
tiba-tiba kekepoan berujung pada nanyain aku waktu pindah ke SMPN 1 Singosari
dulu. Aku cerita aja ya. Aku inget banget waktu pindah ke Malang 1 semester
terakhir di SMP, ngga ada SMP negeri di Malang yang mau nerima pindahan kelas
9. Akhirnya takdir membawaku mendaftarkan diri ke SMPN 1 Singosari. Hari itu
hari Senin, 22 Oktober 2011 aku menunggu bu Win di ruang depan. “Kamu di 9A ya?”
“Bukan, bu, kemarin katanya saya di 9B.” lalu bu Win mengantarku melewati
koridor dan rasanya malu sekali diliatin banyak orang. Sambutan hangat terasa
saat aku masuk kelas ini. Aku disuruh memperkenalkan diri di depan kelas. “Nama
saya Annisa Tristifany.” Kataku malu-malu :3. Dan blah blah blah. “TTL! TTL!”
seru Hasna. “Malang, 20 Januari 1997.” jawabku. Banyak pertanyaan terlontar dan
pertanyaan terakhir yang super random dari sesorang yang aku lupa siapa, “gantengan cowok disini apa
disana?” aku terdiam. Bingung. “Nggak usah di jawab.” Kata Vicko. Mereka
satu per satu gantian memperkenalkan diri. Dan kemudian bu Win masuk kelas. “Nanti
aja ya dilanjutkan perkenalannya.” Aku kemudian duduk. Udah ya segitu dulu
ceritanya. Kita mulai mengobrol sesuatu yang sebentar lagi akan kita jalani, UN
dan ujian masuk PTN. Dan kehidupan kita setelahnya. Di awang-awangku masih
banyak tanda tanya tentang kehidupanku mendatang. Hal-hal seperti: nanti aku
lulus umur berapa, menikah sama siapa, umur berapa, dimana, aku menetap di kota
mana dan hal-hal semacam itu. Soal ini
selalu terselip di dalam do’aku sehabis sholat mudah-mudahan jodohku nanti
sesuai kriteria mama: smart, santun, rajin beribadah, dan seagama. Akhirnya
reuni kami ini berakhir setelah sholat maghrib, baru kerasa deh capeknya dan
aku langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Mama masuk ke kamarku, “Nini
kenapa? Kok sedih gitu ditinggal temennya pulang?” “Nini ngga sedih, ma. Cape.”
Jawabku.
Setiap foto, Danu selalu jadi tangsis karena tangannya paling panjang |
Hari Minggu aku begitu mager dan
ingin menikmati setiap detikku disini sebelum kembali lagi ke Jakarta. Aku duduk
di teras dan menikmati hembusan angin pagi sambil merasakan dinginnya udara
menembus kulitku. Aku naik ke lantai atas yang hanya ada tempat jemuran untuk
melihat gunung Arjuno yang terlihat jelas setiap pagi. Entah kenapa rasanya aku
gelisah sekali. Secepat inikah? Momen-momen menyenangkan memang selalu terasa
begitu cepat.
Akhirnya hari kepulangan tiba,
Senin, 4 Agustus 2014 aku menuju bandara abdulrachman saleh pukul 11:30. Pesawat
take off pukul 14:30, belum pernah seberat ini rasanya meninggalkan Malang. Indahnya
Silaturahmi, Serunya Reuni
Gunung Arjuno |
Aku, Mama, dan Bu Mul |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar