Assalamu’alaikum.
Gimana kabarnya, silent readers? Kalau aku mah silent admirer hahaha. Duh jadi baper.
Jadi pada postingan kali ini aku ingin berbagi secuil pengalaman pertamaku di
Dusun Ngandong Yogyakarta.
Awal
mula tercetusnya PoA (Plan of Action)
ini saat dimenangkannya divisi Pengembangan Masyarakat saat berakhirnya acara
Makrab Carotis 2015. Sebelum berangkat makrab ke Villa Tambi di Dieng, kami
dari angkatan 2015 dibagi per divisi yang terdiri dari: Pengembangan Masyakat,
Pendidikan dan Profesi, Kastrad, Kewirausahaan, Pengembangan Sumber Daya
Mahasiswa, Eksternal dan Kominfo, dan SeniOr (Seni dan Olahraga). Masing-masing
divisi diminta untuk membuat satu PoA yang apabila menang nanti akan diwujudkan
bersama-sama.
Ternyata
pemenang jatuh kepada divisi PengMas! PoA mereka diberi judul “BETA MELEKAT”
yang merupakan singkatan dari Berbagi Ilmu dan Pengetahuan Merajut Pelangi dan
Menjadi Lebih Dekat. PoA ini mengharuskan kita untuk berkunjung ke salah satu
desa binaan UII dan menginap satu malam dalam rangka sosialisasi. Kami dari
angkatan 2015 dibagi menjadi 3-4 orang untuk bermalam di rumah warga setempat
dan mensosialisasikan materi tentang kelorisasi, pola hidup sehat, dan
keagamaan. Acara ini insyaAllah akan dilaksanakan pada 18-19 Desember 2015. Ini
merupakan pengalaman pertama bagiku.
Seusai
kuliah histologi tentang mata yang berakhir pukul 15:10, kami langsung bergegas
kembali untuk mempersiapkan barang bawaan. Cuaca mulai mendung dan rintik air
hujan mulai turun. Sekitar pukul 16:15 kami berangkat menuju ke Dusun Ngandong
yang terletak kurang lebih 8 km dari gunung Merapi. Sepanjang jalan menuju
dusun terlihat banyak kebun. Jalan yang kami lalui semakin lama semakin terasa
menyempit. Kami tiba pukul 17:00 dan disambut dengan hujan yang semakin deras.
Tempat
kami berkumpul adalah rumah milik Mbah Hadi. Tak jauh dari rumah, terdapat
kandang sapi. Di halaman rumah Mbah Hadi didirikan tenda untuk acara keesokan
harinya, yakni senam pagi, jalan sehat, doorprize,
dan pelayanan kesehatan gratis. Setelah semua anggota lengkap, kami
melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu. Laki-laki pergi ke masjid,
sedangkan perempuan sholat di rumah Mbah Hadi. Problem pertama yang kurasakan
adalah penerangan saat matahari mulai pergi, daerah sekitar terlihat gelap.
Jarak rumah satu dengan yang lain juga tidak bisa dibilang dekat dan rapat
karena masih dipisahkan oleh kebun-kebun. Kami menyeberang menuju kamar mandi
umum yang letaknya tidak jauh dari rumah Mbah Hadi. Aku bersyukur membawa power
bank yang bisa digunakan untuk senter, karena memang kondisi sekitar minim
penerangan. Beberapa anak terlihat mengantre panjang dan ternyata air untuk
wudhu mati.
Menjelang
pukul 19:00, kami mulai menuju rumah warga sambil membawa sembako. Berhubung
jarak antar rumah tidak bisa dibilang dekat ditambah minimnya penerangan, kami
pergi dengan menggunakan mobil. Beberapa pemuda dusun Ngandong turut
menunjukkan jalan. Akhirnya aku, Yevy, Tina dan Wiska tiba di rumah yang akan
kami singgahi selama satu malam. Ternyata rumah tersebut merupakan milik Kepala
Dukuh. Sambutan yang hangat dan ramah dari Bu Dukuh membuat kami merasa lega,
kami langsung ditawari untuk makan malam. Dengan gaya sok menolak, kami meminta
untuk tidak usah repot-repot. (Yha, kenapa selalu begini -_-) sebaliknya,
perutku yang kosong sejak pukul 10 pagi makin menjadi. Bunyi “dung-dung”
semakin nyaring menandakan bahwa dia butuh makan.
Akhirnya
kami mulai mensosialisasikan materi, tentunya harus diselingi dengan
obrolan-obrolan agar tidak terlalu kaku. Dari cerita Bu Dukuh, ada beberapa hal
yang membuat alisku naik. Warga dusun baru-baru ini mendapat kemudahan sumber
air karena dibangun pipa dari sumber mata air di dekat tebing yang kemudian
dialirkan menuju rumah-rumah. Tahukan siapa yang membantu mereka membuat pipa?
Orang asing. Hal ini membuat kami semakin penasaran, “Lho, pemerintahnya
bagaimana, bu?”
Tinggal
di lereng gunung merapi tentu membuat kami berempat penasaran bagaimana kondisi
dusun ini saat bencana tersebut melanda. “Iya, mbak, tandanya kalau mau meletus
itu hewan-hewan di atas pada turun terus hawanya panas.” Jelas Bu Dukuh. Beliau
melanjutkan ceritanya tentang pengungsian selama tiga bulan di GOR Sleman.
Pasca bencana berlalu, kondisi dusun baru bisa normal dalam satu tahun. “Satu
tahun?” cengangku. Waktu yang sangat lama. Selama di pengungsian Bu Dukuh
bercerita kurangnya fasilitas WC.
Selanjutnya
aku menyimpulkan bahwa warga dusun belum mengetahui tentang pola makan sehat,
mungkin sebagian masyarakat Indonesia juga begitu. Teringat tentang salah satu
acara di TV, piramida makanan masyarakat Indonesia terbalik dengan Australia.
Orang Indonesia menempatkan karbohidrat di puncak, sedangkan Australia
menempatkan buah dan sayur di puncak. Fenomena yang sudah sering kita lihat
adalah makan mie dengan nasi, dua bahan makanan yang sama-sama berfungsi
sebagai penghasil energi utama alias karbohidrat. Hal ini tidak boleh terus
dibiarkan, perlu adanya edukasi lebih lanjut tentang pola makan yang sehat.
Keesokan
harinya, aku dan Tina berangkat terlebih dahulu menuju rumah Mbah Hadi karena
kami berdua merupakan panitia pelayanan kesehatan. Kami dihimbau untuk turut
mengajak warga mengikuti acara ini. Sebelum berangkat, Bu Dukuh membuatkan mie
instan untuk sarapan kami. Aku membantu beliau sementara ketiga temanku sedang
antre kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. “Tak bikinkan teh ya, mbak?”
“Ibu.. ngga usah repot-repot, air putih aja” balasku. “Nggak ada i, mbak. Harus
masak air dulu. Oh iya, kemarin nggak boleh minum teh ya..” “Iya, setengah jam
sebelum makan dan sesudah makan hehe” aku melemparkan senyuman (?). Persediaan
air mineral saja belum ada dan sehari-hari minum teh sebagai “air putih”
mereka...
Aku
dan Tina berpamitan pada Bu Dukuh dan Pak Dukuh. Pagi yang mendung disertai
hujan rintik-rintik membuatku harus membuka payung. Di jalan kami berjumpa
dengan salah satu warga yang ingin mengikuti kegiatan pagi ini. Di sepanjang
jalan tak jarang dijumpai anjing yang berkeliaran karena memang tidak semua
penduduk beragama islam. Akhirnya kami sampai di rumah Mbah Hadi, tak lama
kemudian warga mulai berdatangan. Acara pertama adalah senam pagi yang dipimpin
oleh Muham, Kemal, Ivan, Faiz, dan Fairuz. Senyuman tak bisa kubendung melihat
adek kecil yang unyu-unyu mengambil barisan paling depan, beberapa sesepuh juga
turut serta. Seusai senam, warga disuguhi bubur kacang ijo dan susu. Sementara
panitia YanKes semakin sibuk mempersiapkan rumah Mbah Hadi sebagai tempat
pelayanan kesehatan gratis. Aku memilih menjadi asisten dokter, sementara Tina
menjadi apoteker.
Antusiasme Warga Mengikuti Senam Pagi |
Instruktur Otodidak |
Pelayanan
kesehatan dimulai pukul 08:45, aku dan Aul menjadi asisten dokter Dimas. “Nanti
yang kalian lihat ini bukan contoh komunikasi yang efektif, ya..” kata dokter
Dimas. “Karena harus cepet-cepet, yang datang banyak.” Pasien pertama pun
masuk, dengan ramah dan cekatan, dokter Dimas meladeni setiap orang. Aku
tertegun saat dokter Dimas berkata, “Dek, ini tolong bapaknya ditensi lagi...”
“Maaf dok, saya belum bisa nensi..” “Oh yasudah ngga papa...nggih, pak, ben
manteb kulo mawon nggih” aku merasa malu.
Sementara
itu Nesti berjaga diluar memanggil pasien-pasien yang mulai tidak sabar ingin
segera berjumpa dengan dokter (cieee...). Aku membantunya di front desk, sementara Aul membantu
dokter Dimas di dalam. Tak terasa waktu sudah mendekati pukul 11, sudah dua jam
aku berdiri disini, memanggil nama pasien dari kertas anamnesis sembari
mengucap “Sekedap malih nggih...” atau “Monggo” dan “Teng mriki” dengan logat
bahasa jawaku yang mulai aneh. Beberapa kali dari bagian apoteker
menginformasikan ke asisten dokter bahwa ada stok obat yang habis. Tak lama kemudian Nesti tumbang dan tinggalah
aku sendirian. Ternyata begini rasanya bekerja melayani masyarakat..........
Aku tahu lelahku tak sebanding dengan dokter Dimas dan dokter Alyda, tapi
sungguh bahagia bisa menolong orang lain.
Tim Pelayanan Kesehatan Bagian Obat |
Pasien yang Sedang Konsultasi dengan dr Dimas |
Acara
dilanjutkan dengan penutupan dan kembali ke rumah warga masing-masing untuk
menyerahkan bibit kelor sekaligus berpamitan. Bu Dukuh telihat sedih saat kami
berpamitan, tak hentinya beliau mengucapkan doa agar kuliah kami sukses dan
dimudahkan. Akhirnya kami kembali menuju rumah Mbah Hadi untuk makan bersama
dan pulang. Bus demi bus datang untuk menjemput kami. Tinggalah rombonganku
yang naik mobil Wiska dan beberapa anak laki-laki yang rela menunggu bus karena
mendahulukan perempuan (ihiy). Untuk mengisi ke-gabut-an sesaat, aku mengajak
Yevy dan Tina untuk foto loncat. “Alay...” komentar Kemal. “Aku ikut...” dia melanjutkan.
Akhirnya kami berpose dan melompat beberapa kali demi mendapatkan foto yang
apik. Terima kasih Muham yang rela memfotokan kami walaupun sedikit maksa! Hehe
=))
This is the first time.
Membuatku lebih membuka mata melihat kondisi sekitar dan menghayati peran
seorang dokter yang salah satunya sebagai community
leader untuk membawa sebuah lingkungan menjadi lebih sehat.
“I’m a doctor. I’m a leader. Be gold. Be
bold. Take action with your passion!” (Yel-yel LKMM 2015)
Foto: Pubdok BETA MELEKAT 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar