Kamis, 03 September 2015

Rumah Kedua


Zona Nyaman

Rasanya pergi dari rumah dan tidak tahu kapan akan kembali……

Mama melambaikan tangan dari pagar rumah. Aku memasuki taksi yang daritadi sudah standby. Aku merutuki diriku sendiri kenapa aku memilih melanjutkan kuliah di luar Jakarta? Sedangkan sisi diriku yang lain mengatakan bahwa, “Ini sudah menjadi keinginanmu sejak lama. Kenapa disesali sekarang? Bukankah jalan menuju kesuksesan tidak bisa didapatkan kalau hanya berada di zona nyaman?”

Air mata membasahi pipiku. Mungkin itu alasan mengapa aku menggunakan masker. Beruntunglah matahari sudah kembali istirahat, jadi linangan air mata itu tidak terlalu terlihat. “I love you, Nini” kata Mama. Aku hanya diam, takut jika mulutku terbuka sedikit saja air mataku yang sejak tadi kutahan akan merembes keluar dengan derasnya.

(Jujur saat aku mengetik ini, mataku berkaca-kaca)

Terbesit quotes dari buku 9 Summers 10 Autumns karangan Iwan Setyawan tentang Jakarta, “Aku mulai mencintainya, membencinya, dan mungkin akan terus begitu”. Tampaknya kalimat itu sangat sangat pas menggambarkan perasaanku tentang kota yang sudah menjadi tempat hidupku selama tiga tahun terakhir. Dimana aku mendapatkan banyak pelajaran berharga, kenangan indah, sampai teman-teman yang asyik. Ada Yin, ada Yang. Pengalaman tak mengenakkan juga tentunya selalu ada untuk menyeimbangkan.

Entah mengapa rasanya sangat berat berpisah. Berpisah dengan apa? Segalanya yang ada di Jakarta. Semuanya akan menjadi baru lagi. Aku harus beradaptasi dengan orang-orang baru, lingkungan baru, dan melangkahkan diri menuju jenjang studi yang lebih tinggi.

Sementara kereta api Taksaka Malam melaju kencang menuju stasiun Tugu Yogyakarta, ragaku mungkin disini, tapi jiwaku masih jauh tertinggal. Aku merasakan hampa. Masih merutuki diri, menyesali keputusan yang kemarin-kemarin kubuat dengan percaya diri. Jika kau anak tunggal, mungkin kau akan merasakan hal yang sama sepertiku. Kita akan tinggal di kota yang berbeda dengan kedua orang tua kita, lalu siapa yang akan merawat mereka?

Kenapa aku disini?

Penyesalanku tidak berhenti disitu. Rasa sesal karena tidak bisa mendapatkan satupun jatah kursi fakultas kedokteran di universitas negeri membuatku semakin memandang sebelah mata tentang kapabilitasku. Hal bodoh yang seharusnya tidak aku lakukan. Egoku mulai menguasaiku, kenapa aku harus berkuliah disini? Tamparan keras, aku menyesal kenapa aku tidak bersyukur sama sekali tentang hal ini. Aku hanya berpikir akan sangat merepotkan orang tua jika aku kuliah di swasta walaupun mama dan papa berkata sebaliknya. Setidaknya, hidupku masih berlanjut. Dan aku tidak boleh menyerah.

Hari-hari Pertama sebagai Anak Kos

Inilah saat dimana kau harus mengatur keuanganmu sendiri jika kau tidak ingin makan nasi plus abon cabe di akhir bulan. Hahaha. Untunglah harga-harga di Jogja cukup berpihak kepadaku. Tentunya tidak semahal di Jakarta.

Pagi pertamaku sebagai anak kos diisi dengan memasukkan barang-barang ke dalam laci meja belajar dan menata baju ke dalam lemari. Tak lupa mulai membeli peralatan-peralatan tambahan seperti tempat sampah, sikat, ember, dan lain-lain. Membeli snack juga agenda wajib mengingat aku adalah tipe orang yang gampang lapar tapi mager untuk mencari makanan.

Untunglah aku cepat akrab dengan teman-teman satu kosku. Hanya ada empat kamar disini. Dita, my hero, entah…tanpa perannya mungkin aku ngga bisa masuk disini. Intan, anak Palembang yang memilih jurusan teknik kimia. Dan terakhir Suci, anak Pekanbaru yang memilih jurusan Psikologi. Kami cukup sering bergossip bareng di malam hari. Pernah suatu malam terdengar bunyi ‘tit tit tit tit’. “Listriknya mau habis pang” kata Dita menenangkan. “Coba kasih tau masmu, Dit” aku mencoba mencari solusi. “Ngeri juga, besok ospek. Malamnya mati lampu” kata Intan. Akhirnya kita berempat mengirit listrik dengan cara tidak menyalakan televisi.

Menantu Idaman

AORTA adalah istilah ospek fakultas kedokteran di UII yang merupakan singkatan dari Ajang Orientasi dan Ta’aruf (cmiiw). Acara ini dilangsungkan selama dua hari, 1-2 September 2015. Sebelumnya, saat kuliah perdana sudah diumumkan tentang atribut-atribut yang harus dibawa saat AORTA. Pada waktu itu pula kami dibagi menjadi beberapa kelompok, kurang lebih satu kelompok terdiri dari dua belas orang. Oh ya! Aku harus membiasakan diri menyebut ‘kelompok’ dengan ‘jamaah’

Ucapan puji syukur terlontar secara otomatis dari mulutku karena aku satu jamaah dengan Dita. Kami segera keluar dan menyatu bersama teman-teman baru satu jamaah. Masing-masing jamaah mempunyai kakak tingkat pembimbing yang disebut sebagai wali jamaah. Jamaah kami diberi nama Carotis, pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah dari leher ke kepala. Hehehe. Dan wali jamaah kami adalah mas Zulfikar, yang biasa disapa mas Zul.

Kami memulai membuat atribut ospek, memotong-motong karton untuk bahan tas, membuat kepangan dari tali raffia, membeli barang-barang baksos, dan masih banyak lagi. Hari demi hari kami semakin dekat (CIEEEEE –khas Carotis banget--). Hingga tibalah dimana keesokan harinya kami akan mengikuti AORTA. “Jangan lupa bikin yel-yel” kata mas Zul mengingatkan. Dan beginilah yel-yel kami

Dengan kekuatan cinta, kami datang untuk menyembuhkanmu

Carotis takkan lelah karena paling oke
Ada Vian, Faried, Adit juga Ramdan
Ceweknya ada Gita, Dita, Nindi, Fany
Aan, Angga, Annisa, dan juga Anggita
Jamaah Carotis waljamnya itu mas Zul, yang pake kacamata
Jangan Cuma nonton doang, yang lain ditendang

Kami carotis… MENANTU IDAMAN!

Lirik yang kebanyakan dikarang oleh Ramdan akhirnya resmi menjadi yel-yel kami (yang mungkin sedikit alay)

                               

AORTA Hari Pertama

Kami berangkat bersama-sama menuju boulevard UII. Seperti ospek universitas, kami dibariskan untuk melewati tiga pos. “Siapa yang merasa sepatunya tidak hitam full maju ke depan!” perintah kakak KK. Kulirikkan mataku ke bawah memandang sepatuku. “Kamu! Maju ke depan!” Nasib sial memang sedang membuntutiku hari itu. Aku maju ke depan dengan pasrah, tahu kenapa? Karena di sepatuku terdapat bagian sedikit putih yang ku isolasi hitam. Lalu apa masalahnya? Isolasinya lepas. “SIAL!” Pekikku dalam hati.
“Kenapa sepatunya?”
“Ini kak…isolasinya lepas…” aku menunduk
“Kamu ngerasa salah nggak?”
“Iya kak…”
“Yakin?”
Aku mengangguk. Kakak tersebut kemudian membalik cocardku dan langsung memberi centangan di pelanggaran sedang. “HAAAH MAMPUS! 20 TANDA TANGAN” aku meratapi kesialanku di pos pertama.

Berlanjut di pos kedua, tempat pemeriksaan atribut. “Warna tali tasnya ada berapa dek?” hening sesaat. Kakak itu mengulangi pertanyaannya lagi. “Empat kaak” kami menjawab takut-takut. “Berapa?!” “Empat kak” dan belakangan diketahui kalau talinya berjumlah tiga. Baiklah, pelanggaran keduaku hari itu. Tanda tangan kakak panitia yang harus kudapat berubah menjadi 40. Ditambah lagi membuat essay tentang hipertensi sebanyak empat halaman folio, ditulis tangan!

Acara AORTA pun dimulai. Pembukaan resmi oleh ibu dekan. Kami dibagikan buku panduan acara AORTA. Oh iya! Tempat berkumpul kami adalah di depan lab FK. Hari itu berjalan dengan damai dan sedikit tegang. Setelah lengkap, kami berkumpul ke GKU untuk sholat dhuha dan mengikuti berbagai seminar. Tentu saja kemanfaatkan setiap waktu luang untuk mencari tanda tangan kakak-kakak panitia.

Siangnya, kami melaksanakan Tour de Medica mengelilingi bangunan FK UII dari lantai satu sampai empat. Ramdan sibuk dengan note kecilnya yang dia gunakan untuk mencatat setiap ruangan yang ada di gedung ini.  Sementara Mas Zul memberi pengarahan tentang ruangan-ruangan, semacam menjadi tour guide.

Acara hari itu berakhir menjelang maghrib. Kami mendapat tugas untuk esok, yaitu membuat essay tentang anatomi dan fisiologi salah satu orang penting tubuh sebanyak dua halaman, membuat denah fakultas, dan membeli beberapa bahan lagi. Dan tentunya, mengganti jumlah tali tas kami dari empat menjadi tiga.

Dengan langkah gontai karena sudah kelelahan kami berjalan menuju kosku dan Dita yang merupakan basecamp kami. Adzan maghrib mulai berkumandang. Singkat cerita, kami mulai memperbaiki atribut-atribut yang salah. Sedangkan para ikhwan membeli bahan keperluan untuk hari kedua. “SEMANGAT!” kataku kepada mereka. Kami semua lelah, termasuk aku. Dan kata-kata itu menjadi sangat basi untuk diucapkan.

Hari menjelang malam dan atribut pun perlahan mulai selesai. Sementara Ramdan masih sibuk mengeprint  tulisan di atribut kami yang salah. Tinggallah aku, Dita, Faried, Vian, dan Ramdan. Ketiga ikhwan Carotis ini menggambar denah fakultas dengan bersemangat (read: loyo). Sementara aku dan Dita nyicil mengerjakan essay. Mereka baru menyelesaikannya pukul 23:15, essay hipertensiku masih 3 halaman dan otakku sudah mentok tidak tahu mau menulis apa lagi.

“Aku mau tidur dulu, Dit. Nanti jam 3 bangun lagi” kataku pada Dita. Kami berpisah menuju kamar masing-masing. Aku meletakkan essay hipertensiku di atas meja, memandanginya sesaat dan melanjutkannya sebentar. Tak terasa jam mulai menunjukkan pukul 00:15, “Aku harus tidur” pikirku. 15 menit kemudian aku terlelap.

Alarm handphone sudah terprogram pukul 3 pagi. Nyatanya aku malah terbangun dengan sendirinya pukul setengah 3. Aku berkedip sesaat. Ingin tidur lagi. Dilema. Aku belum menyelesaikan essay hipertensiku, apalagi tugas essay anatomi dan fisiologi. Syukurlah, tepat pukul 4 essayku selesai. Inilah rekor pertamaku, tidur hanya dua jam dalam sehari.

AORTA Hari Kedua

Saking lelahnya, aku meminta doa teman-teman alchemist di grup supaya tidak terkena pelanggaran lagi hari ini. Alhamdulillah doa mereka terkabul. Aku aman. Hari kedua merupakan klimaks dari seluruh rangkaian acara ini.

Sampailah saat dimana kami akan mengunjungi “dosen besar” kami. Dari GKU, team Carotis menuju ke depan lab FK. Disana sudah ada salah satu kakak panitia yang menyambut kami. Raut wajahnya seperti dipaksakan rileks, mungkin karena melihat kami yang terlalu tegang karena memang kami sudah tahu akan disuruh apa setelah ini. “Yuk yel-yel dulu, ngga usah keras-keras ya…”

Aku bisa merasakan ketegangan diantara kami semuanya. Setelah itu kami diminta untuk membagi dua, per enam orang naik terlebih dahulu. Aku bersama dengan Vian, Faried, Anggi, Nindi. Ya, karena kebetulan Aan sedang sakit. Aku menaiki undakan menuju lantai dua yang sudah disambut oleh kakak panitia yang lain. Slayer sudah menutupi hidungku, karena pengap aku menurunkannya. “Assalamualaikum, kak” sapa kami. “Waalaikumsalam” raut wajah kakak yang satu ini juga tidak jauh berbeda dengan kakak sebelumnya.

“Kalian nyium bau-bau sesuatu gitu ngga?”
Hening.
“Bau mencit” lanjut kakaknya.
“Saya kok engga cium ya kak…” aku menanggapi kakaknya.
Something is wrong with your nose, kamu pilek?”
“Engga, kak”
“Yaudah, sama. Saya juga ngga cium”
Aku terdiam.

Kami diberi kode untuk naik ke lantai tiga. Disana kami juga disambut oleh salah satu kakak panitia.
“Kak, kita mau ngapain sih kak?” tanya Nindi. Kakak itu hanya tersenyum dan meminta kita untuk mengikuti saja apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian kami dikomando untuk naik ke lantai empat. Kami dibariskan di depan pintu ruangan yang dari luar terlihat gelap.

“Bawa slayer semua kan dek?” tanya kakaknya. Kami mengangguk.
“Sekarang kalian lipat slayernya kayak gini, terus tutupin ke mata. Jangan tebel-tebel nanti kalian ngga bisa nafas”

Kalian tahu apa yang ada di dalam pikiranku? Awalnya kupikir kami diminta membawa slayer untuk menutupi hidung kami. Ternyata mata!

Ya Allah, aku pasrah apapun yang terjadi padaku tolong aku dimudahkan.

Kakak tersebut membantuku mengikatkan slayer. Aku merasakan dia memegang pundakku dan mengistruksikan kepada yang lain untuk berpegang ke pundak temannya. Aku tidak berpegang pada pundak siapapun?!?! Menandakan kalau aku adalah yang paling depan. Aku hanya menggandeng tangan kakaknya. “Kak saya boleh tukar ngga, saya ngga mau di depan..” suaraku mulai bergetar. “Kenapa memang? Ngga papa kok” kata kakak itu lembut menenangkanku. Kami melangkah dengan mata tertutup slayer. Hawa dingin kurasakan. Aku mulai terisak. “Kamu kenapa?” aku tetap terisak sedikit kencang. “Ngga papa kok, ngga papa” kakak tersebut seolah berubah menjadi seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya.

“Kak, kita mau dibawa kemana?” Nindi yang ada di belakangku bertanya. Kakak itu diam. “Don’t let go, kak” kataku menggenggam erat pergelangan tangannya. Aku merasakan kami semua dipisahkan dan diserahkan ke kakak-kakak disitu yang aku tidak tahu berapa. Walaupun dalam keadaan tidak bisa melihat apapun, aku bisa merasakan kakak itu membukan gorden atau apalah.

“Dek, saya tempelkan ini di pundak kiri kamu. Jangan sampai hilang ya. Kamu sebentar lagi ketemu dosen kamu, hormatin ya” aku terdiam. Tangisanku berhenti. Entah apa sebenarnya yang menhentikannya. Kakak itu memegang tangan kiriku dan meletakkannya diatas “dosen”ku. Seketika, pikiranku berubah. Kalau aku tetap menangis, aku tidak menghargai “dosen”ku sama sekali.

“Nanti cari jarum ya, dek” katanya. Kemudian meninggalkanku yang diisyaratkan dengan angin tubuhnya yang berlalu.

“hitungan ketiga, buka slayer kalian!”

“oke, aku tau saat ini pasti akan datang juga. Terkadang ada hal yang tidak bisa kita hindari dan mau tak mau harus dihadapi” aku memberanikan diri dalam hati.

“satu, dua, tiga, BUKA SLAYERNYA!” Aku membuka slayerku dengan tangan kanan, karena tangan kiriku masih menyentuh sang dosen. Aku menarik napas perlahan dan teriam selama beberapa detik. Memandangi sekeliling dengan penerangan remang-remang. Dihadapanku sudah terbari sang dosen. Aku mengalihkan pandangan ke tangan kiriku yang ternyata menyetuh paru-parunya.

Tak lama aku kembali berfokus untuk mencari jarum yang dimaksud. Aku meraba dan berusaha merasakannya karena aku tidak bisa melihat dengan jelas. Dari seberang terdengar teriakan, “Kak saya sudah dapat!” suara Vian membuatku panik. Aku mencoba mencarinya lagi bahkan sampai mengangkat paru-paru tersebut.

“Kak, saya dapat!” suara perempuan yang kuasumsikan Nindi.

“KELUAR DEK!”

Deg. Aku makin panik karena belum menemukan apapun. Instingku menyuruhku berkata, “KAK SAYA NGGA DAPAT” sedetik kemudian, kakak itu membuka gorden hitam dan menyuruhku keluar. Aku lega ketika bisa melihat cahaya terang lagi. sisa-sisa air mata masih menempel di pelupuk mataku.

“Turun ya dek”
“Iya, kak”

Aku menuruni tangga dari lantai empat dengan gesit menyadari bahwa teman-temanku yang lain tidak ada. “Assalamualaikum, kak” sapaku di setiap tangga yang kuturuni.

 Aku dan Anggi yang pertama kali sampai di tempat berkumpul. Mas Zul sudah menanti dengan tongkat bertuliskan “CAROTIS” yang setia dibawanya. Aku maju mendekatinya ketika kutoleh ke belakang untuk mencari Anggi dan hendak menyusulnya, “Fany, Fany” panggil Mas Zul. “Sini sini, cuci tangan dulu” aku manut.

“Gimana tadi?”

“Dia dapet mas, aku engga” jawabku.

                                

Penutupan acara dilaksanakan pukul 5 sore oleh bapak wakil dekan. Setelah itu kami semua sholat maghrib dilanjutkan pemberian award kepada maba&miba terbaik dan panitia terbaik dari berbagai kategori.

“Maba terbaik adalah……”
“Ramdan dari Carotis!” wah wah. Aku benar-benar tidak menyangka Ramdan bisa menang. Kami semua bertepuk riuh menyatakan kebanggaan kami. “Pak Ustad” akhirnya mendapatkan award itu! Walaupun jamaah kami tidak terpilih menjadi jamaah terbaik, namun Ramdan berhasil membawa nama Carotis.

Panitia-panitia mendapat award masing-masing. Dan terakhir adalah dalam kategori “terdisiplin”

“SIAPAAAA?” kakak MC ingin mendengar jawaban kami.

“KK!!!!” Kami kompak menjawab.

“Dan kategori terdisiplin AORTA 2015 diberikan kepada…….”
“KK!”

Wooo! Disambut dengan tepuk tangan meriah. Saat kakak-kakak dari departemen KK maju ke depan semua hening. Suasana menjadi sama persis seperti saat tiba-tiba kakak-kakak KK memasuki auditorium dan membuat hati kami berdebar-debar (CIEEEE (?))

Mereka memperkenalkan diri terlebih dahulu satu per satu, kemudian memohon maaf kepada kami semua. Salah satu kakak tersebut meminta dua maba yang dia sebut namanya untuk maju ke panggung.

Formasi berubah kembali. Kedua maba tersebut kini membelakangi kami semua untuk menghadap kakak-kakak KK, “SAYA MAU KALIAN ISTIGHFAR 10 KALI” perintah salah satu maba itu. Kakak-kakak KK itu menunduk dan mulai beristighfar, ekspresinya sama seperti saat kami ada di posisinya beberapa waktu lalu. Terdengar tepuk tangan meriah yang menandakan kami puas.

“NGGAK MAU? SAYA TAMBAH DUA KALI LIPAT JADI DUA PULUH KALI” maba tersebut melanjutkan. Tepuk tangan makin membahana. Semua mengganas seakan ingin melampiaskan (?)

Selesai. Kakak-kakak KK meminta maaf kepada kami semua, suasana kembali hangat. Dari awal aku selalu tahu kalau mereka semua sebenarnya kakak-kakak yang baik. Mereka mendidik kami untuk disiplin dan tidak melewatkan satu detil pun karena itu sangat penting.

Selamat menempuh hidup baru, teman-teman sejawat! =))