Jumat, 29 Agustus 2014

Tips Belajar Bahasa Inggris

Ada yang merasa kesulitan belajar bahasa Inggris? Selalu ada. Dan apakah akan kita biarkan itu terus menjadi sulit? Jangan. Kali ini aku mau share tips-tips belajar bahasa Inggris ala diriku sendiri dari mulai SD sampe di tahun terakhir SMAku ini.

1.   Sukai bahasa Inggris
Hal paling mendasar dari mempelajari sesuatu adalah mau ngga mau kita harus suka dengan sesuatu itu. Kalau kita suka kita pasti akan melakukan hal apapun untuk bisa menguasainya. Yakan? Okay.

2.   Tanamkan di pikiran “Bahasa Inggris itu mudah”
Nah atur mindset kita, jangan awal-awal sudah menanamkan kalo bahasa Inggris itu susah. Nanti jadi susah beneran.

3.   Belajar dari yang mudah
Sama prinsipnya seperti mengerjakan soal: kerjakan dari yang mudah dulu. Misalnya dari percakapan sehari-hari, “How are you?” “What’s up?” “What’s going on?” “See you next time”

4.   Cari sesuatu yang kamu sukai yang berhubungan dengan Bahasa Inggris
Kalau belajar dikaitkan dengan sesuatu yang kita suka, insyaAllah makin terasa mudah dan ringan. Contohnya: dulu aku termotivasi belajar bahasa Inggris sejak pertama kali nonton video klip Westlife – I Have A Dream. Keinginan makin kuat saat mereka mau konser disini dan ada kompetisi meet and greet. Aku minta ajarin banyak tentang bahasa Inggris sama temen-temen di sekolah. Malu kan seandainya meet and greet tapi ngga bisa ngomong apa-apa.

5.   Paksa
Adakalanya kita harus paksa diri kita. Paksa gimana nih maksudnya? Pengen bisa bahasa Inggris kan? Untuk itu harus apa? Belajar. Dulu pas SMP aku masuk RSBI dengan bahasa Inggris yang super pas-pasan. Dan aku gagal ulangan harian fisika 2 kali (setelah 2 kali bapaknya nggak ngasih remedial lagi) hanya karena aku ngga ngerti arti soalnya yang dibikin dalam bahasa Inggris. Sedih kan ya? Akhirnya lama kelamaan aku berpikir, kalo gini terus aku remedial terus dong? Dan aku pun mulai belajar bahasa Inggris. Entah kalau liat buku sambil buka kamus dan dengan cara-cara lain. Aku memaksa diriku biar bisa.

6.   Temukan cara yang menyenangkan
Yap! Misalnya dengan mendengarkan lagu dari penyanyi favorit kita. Iseng-iseng dengerin liriknya dan lama-lama nanti kepo, “lagu ini sebenernya tentang apa sih?” lalu kita akan googling liriknya. Pas kita googling liriknya, kita akan tambah kepo lagi sama arti beberapa kata yang belum kita tau. Nah dari sini bisa jadi salah satu cara menyenangkan menambah vocabulary.

7.   Latihan pronounciation
Ngeliat orang british ngomong keren ya? Lama-lama aku pengen niruin. Tapi apa daya lidah asli Indonesia hehe. Tapi bukan berarti nggak bisa. Nah ini berhubungan sama nomor 6, ketika dengerin lagu coba kita nyanyiin ulang. Kita tirukan cara penyanyi itu mengucapkan kata per kata. Disisi lain kita juga bisa mencoba nonton film dan liat dialek mereka. Sesekali berlatihlah ngomong dengan diri sendiri di depan kaca. Tapi jangan ngomong sendiri di depan umum ya.

8.   Grammar
Mungkin sebagian orang berpendapat grammar itu nggak penting. Bukan nggak penting, grammar itu penting juga buat tes. Dan kalau kita menguasai grammar kan malah makin keren tuh bahasa Inggris kita, udah logat british + grammar mantab = … ? cara belajar grammar nggak perlu muluk-muluk menghapalkan rumus. Banyak baca artikel aja. Sebelumnya beli buku saku kecil yang isinya tenses dan grammar. Baca-baca kalau ada waktu luang. Nah saat kita baca artikel kita akan sedikit-sedikit terbesit terapan grammar yang tadi kita baca di kalimat artikel tersebut.

Sekian tipsnya. Semoga membantu. SEMANGAT!



Jumat, 15 Agustus 2014

I'm in Jakarta

Ngga jarang waktu kita naik angkutan umum atau sedang mengendarai kendaraan pribadi tiba-tiba ada yang nyerobot, ngeklakson gara-gara lambat atau macet yang ngga ada ujungnya. Disini pengalaman pribadiku sewaktu pertama kali merasakan ‘keras’nya Jakarta. Disana-sini macet dan ngga bisa diprediksi kapan lancarnya. Kalau kita berangkat kesiangan dikit aja udah ngga bisa jalan sama sekali, horrible! That’s what in my mind when I saw traffic jam in our capital city, Jakarta.

Waktu itu hari pertama masuk sekolah, hari pertama MOS SMAku di Jakarta. Seperti hari-hari sebelumnya, aku, mama, dan papa berangkat jam 6 kurang 15 menit dari rumah. Dan belum sampai 1 km, mobil ngga bisa gerak sama sekali. Padat! Sepeda motor pada ngeklaksonin sana-sini sembari nyerobot nyari jalan diantara celah-celah mobil. (really, I hate this situation so much). Mobil sama sekali ngga bergerak selama 30 menit, waktu menunjukkan pukul 6 lewat 15 sekarang dan itu artinya 15 menit lagi gerbang sekolah bakal ditutup. Aku diam di dalam mobil dan tenang, tidak ada perasaan takut terlambat sama sekali. Sampai melihat pengendara mobil di depan pada turun dari mobil dan memilih jalan kaki. Hampir semua turun dari mobil. Keadaan tambah kacau waktu sepeda motor udah ngga bisa ‘nyelip’ lagi di celah-celah mobil. Akhirnya, aku sama mama milih turun dari mobil dan jalan sekitar 1,5 km. Ojek disana-sini udah pada fullbook. So how could I go to school? Sekolah masih 2 km lagi. Dan akhirnya di perempatan kedua di daerah Pondok Kopi, ada ojek 1 biji. Tanpa pikir panjang aku sama mama langsung ngebooking ojek itu. “SMA 44 ya, pak!” kata mama. Ngga sempat mikir orang-orang pada ngeliatin diriku yang aneh, pake jilbab yang diatasnya ada 4 buah pita merah sambil bawa nametag yang talinya dari tali jemuran warna kuning. Hhhhh I just didn’t care about it anymore. Yang penting aku nyampe sekolah dan ngga telat. Kulirik jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul setengah 7 kurang 2 menit ketika (akhirnya) bang ojek nyampe di depan gapura sekolah.

Sejak saat itu, aku, mama, dan papa sepakat berangkat dari rumah jam 5.30. jam segitu di Jakarta masih gelap, lampu jalan masih menyala. Bahkan aku baru denger ayam berkokok, ini mungkin ayamnya yang semalem begadang jadi dia berkokoknya kesiangan atau mungkin dia lagi pengen berkokok jam segitu. But that’s so much better than stuck in the unpredictable traffic jam. INI JAKARTA. INI JAKARTA. Tegasku sekali lagi. Mata sepet dan masih klangopan harus disingkirkan daripada telat ke sekolah.

Sampai sekolah bukan cuma itu tantangannya, aku yang ngga biasa ngomong “Gue” “Lo” seakan diwajibkan ngomong pake 2 kata ini. Semua orang ngomong pake itu. “I can’t do this. This is not me.” pikirku. Haruskah? Haruskah? Pikirku tambah miris. Akhirnya dengan logat medokku (kata temen-temen), aku tetep ngomong menggunakan kata-kata tercinta, “Aku” “Kamu” Alhamdulillah yah :’)

Ketemu banyak anak-anak yang megang blackberry, iPhone, iPod aku jadi teinget sama pesen papa “Ojo dumeh (jangan sok), Ojo kagetan (jangan gampang kaget), Ojo gumun”. Oke, aku ngeliatnya jadi biasa aja, aku cuma butuh penyesuaian diri ‘beberapa waktu’ disini, di Jakarta. Dan dari sini aku memahami 1 pelajaran penting, “salah satu saat paling sulit dalam hidup adalah saat kita harus beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan baru yang berbeda dari keadaan kita biasanya.” Anak Jakarta rata-rata supel. Aku? Aku jadi jutek dan bête banget di sekolah gara-gara tiap pengen ngomong, “Gue” dan “Lo” susah banget keluar dari mulut ini. Sedikit ada rasa minder, anak-anak disini stylish. Sekilas, itu hal ‘ngeri’ yang saya lihat di Jakarta. Tapi, apapun yang terjadi kita harus memandangnya dari hal positif. Ambil sisi positif. Jangan sampe kita bête atau ada perasaan bête yang bikin cepet down. Be strong is the only way.

[QUOTE] “Aku mulai mengenal Jakarta, membencinya, mencintainya, membencinya, dan mungkin akan terus begitu.” (Iwan Setyawan – 9 Summers 10 Autumns)



12

Detik demi detikku berlalu melewati masa-masa akhir dari sekolah menengah atas. Aku diam sejenak dan memejamkan mata. Kadang masih sulit percaya bahwa kita akan menjadi seorang mahasiswa dan mahasiswi, rasanya masih belum pantes. Aku menaiki tangga menuju kelas XII IPA 1 di ruang 201 lantai 2. Seperti pagi di tahun-tahun sebelumnya, aku datang lebih awal dari yang lain dan kelas masih kosong. Kelas kami terpisah jauh dari kelas-kelas yang lain. Terletak di pojok, di dekat tangga darurat di sebelah laboratorium TIK. Hanya kelas kami yang terletak disitu. Seakan jauh dari kehiruk-pikuk-an kelas XII yang lain.

You take a deep breathe and you walk through the doors
It’s still morning of your very first day
Say “hi!” to your friends you ain’t seen in a while
Try and stay out of everybody’s way
It’s your very last year and you’re gonna be here
For at least 10 months ahead
Hoping for the best score and successful in life
And enter the university that you want…
(From Taylor Swift lyric ‘Fifteen’ and a little change on some sentences)

 Hari Rabu, 6 Agustus 2014 agenda kami hanya masuk sekolah dan halal bihalal lalu pulang pagi. Satu per satu guru aku salami. “Annisa, kamu kurusan ya… Kamu puasa syawal?” tanya bu Merny. “Engga, bu..” jawabku agak kaget. Aku pulang sendiri naik angkot karena papa lagi ke bengkel. Mencoba menelpon papa berkali-kali tapi “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.” akhirnya dengan penuh harap aku sampai di depan rumah dan kulihat rumah terkunci. Mampus! Seketika aku pengen nangis hahaha engga juga sih, agak depresi sedikit bingung mau kemana. Mama di telpon ngga bisa, papa ngga bisa. Anaknya diem di depan pager. Akhirnya daripada mendomblong seperti orang mencurigakan di depan rumah, aku manjat pager (makin ekstrim). Karena sepatuku yang gede tidak muat, akhirnya aku copot, langsung lempar ke dalem. Takut jatuh sih, tapi daripada malu? Lumayan bisa duduk di teras. Itulah hari pertama saya masuk sekolah.

People come and go, begitu katanya. Guru bahasa Indonesiaku selama 2 tahun, bu Nani pensiun. Aku belum sempat minta maaf dan berterima kasih sama ibunya karena begitu sabarnya mengajarkan anak-anak seperti kami yang kadang suka guyon sendiri dan ngga memperhatikan pelajaran. Guru sejarahku juga pensiun, Pak Edi. Bapak yang super baik dalam memberi nilai dan sabar sekali. Pelajaran PLH tidak lagi diajar oleh guru biologi kami, bu syofia, tapi diganti guru baru, bu Hanik. Guru agama islamku juga pensiun dan digantikan oleh bu Arwanis yang enak buat sharing dan tanya-tanya soal islam lebih jauh. Antara guru satu dengan yang lain tentunya ngga sama, kadang ada yang cocok kadang ada yang engga. Nikmati saja.

Aku sadar penuh bahwa menjadi kelas XII IPA bukanlah hal yang gampang. Di kelas XII selain sukses UN kita juga dituntut masuk PTN yang persaingannya subhanallah sekali. Berbagai Try Out, klinik belajar, tutor sebaya, dan bab-bab semester 2 yang akan dimajukan ke semester satu, mengulang pelajaran kelas X dan XI terus tergambar di pikiranku. Berentetan dan aku bingung mau mulai darimana. Aku merasakan diriku makin disibukkan oleh hal-hal ini. Les sampai jam 8 malem, PR, presentasi… (tarik napas dulu). Entah kenapa walaupun sibuk dan capek, aku suka dengan kegiatan baruku ini; menjadi orang sibuk hahaha. Keren. Aku juga sadar penuh bahwa fakultas yang aku ingin capai tidaklah mudah persaingannya. Jumlah pendaftar ribuan dan yang diterima hanya puluhan makin membuatku grogi kalau tidak mempersiapkan segalanya dari sekarang. Tak lupa juga aku memperbanyak berdo’a dan memohon petunjuk agar nantinya Allah ridha dengan apa yang kucita-citakan. Aamiin yaa rabbal alamin.

Senin, 11 Agustus 2014 kami melaksanakan upacara bendera seperti biasanya. “Kelas XII semuanya tetap di lapangan.” Seru pak Warta seusai upacara. “Kelas X dan XI silahkan masuk ke kelas masing-masing.” Lanjutnya. KITA MAU DIAPAKAN, PAK???!!?! Aku mulai berpikir kita disuruh upacara ulang karena berisik. Alhamdulillah ternyata bukan itu, kawan-kawan. Kita disuruh menandatangani kontrak belajar. Dibeberkan spanduk besar di lapangan berisi target nilai UN kita dan jurusan PTN. Perlahan kutulis target-target nilai UN dan jurusan PTNku dengan membaca basmallah sebelumnya. Spanduk ini kemudian ditempel di belakang kelas dan setiap kali kami memandanginya, kami akan ingat kemana kami akan melanjutkan pendidikan setelah lulus. Aku terharu sekali entah kenapa. Antara takut, ngerasa belum siap, excited, dll.

Selfie bareng Bu Syofi (guru Biologi) disela-sela penulisan kontrak belajar

Kamis, 14 Agustus 2014 kelas kami dipilih untuk jadi paduan suara untuk upacara hari kemerdekaan. Lho, emang padusnya kemana? Padus kita “diambil” ke walikota untuk nyanyi. Salut! Kita mulai latihan di studio band dan bolos pelajaran bahasa Inggris plus matematika. Ckckckck hahaha. Disela-sela break, Oya mulai membacakan kalimat-kalimat yang didapatnya dari ask.fm diiringi kak Dina yang main keyboard lagu Rasa Ini-nya Vierra.
Dulu kita bilang “bareng-bareng terus ya!”
Lalu “yang penting masih bisa atur jadwal kumpul lah.”
Jadi “yang penting masih bisa ketemu sesekali lah”
Sampe “mereka apa kabar yaa” “udah lama nggak ketemu” “kangen juga pengen ketemu”
People come and go, selagi masih bisa kumpul usahain kumpul
Dulu kalau mau kumpul tinggal kumpul, lama-lama diajakin via grup chat yang respon makin dikit, makin dikit, makin dikit
Sampe masing-masing udah sibuk sendiri
Kalau udah kayak gini ya nggak bisa nyalahin siapa-siapa
Emang masanya udah habis dan cuma bisa bilang, “sukses lah, bro.. see you on topJ
Ada satu titik dimana kita seolah melihat ke belakang terus sadar kalau temen-temen yang dulu barengan satu per satu pada hilang
(next next next kalimat ya)
Dari yang mau nyapa tinggal nyapa
Sampe kalau mau chat/nelpon mesti nanya dulu sibuk apa engga
Dari yang asal main tag foto-foto aib sampe yang mau ikut komen aja ragu gara-gara banyak komen dari temen-temen barunya
Dari yang kalau mau chat ngga perlu ada topik aja bisa seru, sampe yang mau mulai chat sama temen lama aja harus nunggu ada perlu/topiknya
Dari yang udah nggak tau malu minjem duit sampe yang segen sekedar mau nanya kabar
(next next next)
The first thing you’ll realize, when you wake up in the next day is: It’s all gone
All good things, will it ends?
Sure, it will.
(Thanks to somebody’s ask.fm for those sentences)

Kak Dina mulai sharing pengalamannya masuk PTN, dia keterima di UNJ lewat jalur undangan di jurusan Seni Musik. Dia mulai cerita dan menasehati kita buat menikmati masa-masa 10 bulan ini baik-baik karena bakalan kangen sama temen-temen dan momen-momen. Jadi teringat masa SMP dulu…. Dia juga membahas soal jurusan di PTN dan cara-cara entri nilai buat jalur SNMPTN. Sesekali aku mengobrol dengan Indah soal PTN tujuan kami dan persaingannya. “Semangat yang mau FK!” kata Essar mengangkat dan mengepalkan tangannya padaku. Aku membalasnya dengan senyum lalu mengangkat tanganku dan mengepalkannya. “Semangat, bu dokter!” kata Tera sambil menepuk pundakku. Entah, dengan perkataan mereka aku jadi makin semangat dan optimis untuk meraih cita-citaku itu. Aamiin ya Allah. Lebaran kemarin saudara-saudara juga mensupportku. Tiap chat di bbm, mbak Dini jadi manggil, “Aunty dokter”. Mama juga suka manggil, “bu dokter Annisa”. Terima kasih! Semoga panggilan-panggilan itu merupakan do’a. Aamiin.

Sebenernya aku nggak tau mau cerita apa. Inti dari posting ini apa? (-_-) kadang nulis cuma buat mengeluarkan unek-unek dan curhat sama diri sendiri. Aku takut… deg-degan…

Iseng kubuka halaman pertama buku catatan bahasa Prancisku yang dari kelas X sudah beranak jadi 3 buku sampe sekarang. “InsyaAllah, dalam 3 tahun lagi saya akan lulus SMA dengan nilai memuaskan dan bisa masuk perguruan tinggi negeri yang terbaik yang saya cita-citakan karena sejak kecil saya bercita-cita ingin kuliah di Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Ya Allah kabulkanlah cita-citaku ini.” Kalimat di paragraf terakhir ini membuatku termenung sejenak bahwa ternyata aku bisa konsisten dengan apa yang aku idam-idamkan. Hanya mungkin universitasnya yang beda ya.

Jadi kelas XII tidak bisa sesantai kelas IX dulu, walaupun ujung-ujungnya sama-sama UN. Kita dituntut mulai berpikir dan merencanakan mau kemana kita ke depannya? Mau jadi apa? Rasanya baru kemari tambahan pagi buat UN SMP. Rasanya baru kemarin juga les fisika bareng Ofi, Vicko, Danu. Rasanya baru kemarin ngerjain ujian praktik. Aku kadang nervous memikirkan semua ini. Sebentar lagi kuliah, kerja, berkarir, dan lain-lain.




Senin, 04 Agustus 2014

Indahnya Silaturahmi, Serunya Reuni






Assalamu’alaikum, pembaca setia.
Ramadhan dan lebaran kali ini menjadi sangat spesial untukku karena (akhirnya) aku pulang kampung setelah 2 tahun ngga pulang. Ya, kota Malang adalah tempat dimana aku lahir dan menghabiskan sebagian besar waktu hidupku. Kemana pun SK mamaku membawaku, aku akan selalu merindukan Malang dan hatiku takkan pernah berpaling dari kota ini.
           
            Rabu, 23 Juli 2014 tepat pukul 21.00 WIB aku, mama, papa, dan om GT berangkat dari rumah di Bekasi menuju Malang. Mobil sedan yang kami gunakan bisa dibilang sesak karena bawaan yang cukup banyak. Aku sendiri pun tidak bisa duduk nyaman di jok belakang. Suasana 10 malam terakhir di bulan ramadhan sangat melekat, menebak-nebak kapan datangnya malam 1000 bulan. Tol demi tol, kota demi kota kami lewati hingga akhirnya kami sampai di Gresik pukul 2 dini hari pada 25 Juli 2014. Di rumah bulbul (tanteku) kami hanya numpang mandi, sahur, dan sholat subuh lalu melanjutnya perjalanan ke Malang tanpa om GT. Aku membuka twitterku lewat dabr dan kulihat tweet dari ustad Felix yang bilang bahwa malam lailatul qadr mungkin adalah tadi malam karena menurut hadits jika ada 10 malam terakhir ganjil yang jatuh pada malam Jum’at maka kemungkinan besar itu adalah malam lailatul qadr. Aku merasa cukup kecewa karena semalaman aku tidur selama perjalanan. Namun kusempatkan berdo’a setelah sholat tarawih dan witir di dalam mobil. Alhamdulillah tarawih ramadhan kali ini ngga ada yang bolong (kecuali pas haid). Hooray!
           
            Langit terlihat mendung dan matahari masih malu-malu menampakkan diri disela awan abu-abu. Hanya sedikit berkas cahaya yang terlihat. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi dan seharusnya di Jawa Timur matahari sudah cukup tinggi. Aku mulai berkeyakinan kalau tadi malam memang malam lailatul qadr. Akhirnya mobil kami sampai di depan rumah kami yang selama ini kurindukan, sangat. Aku bergegas turun dan masuk. Menikmati sejenak sejuknya udara pagi dan suara gesekan dedaunan di kebun papa. Rumah ini tidak berubah sedikit pun. Menjelang adzan maghrib, tak juga ada kabar dari Vicko apakah dia jadi ke rumah mau minjem buku atau engga. Aku sibuk membantu mama menyiapkan menu buka puasa. Kudengar ringtone handphone sony-ku berbunyi. “Halo?” “Fan, aku di depan rumahmu.” Aku bergegas berlari keluar dan membukakan pintu pagar untuknya. Kami mengobrol sebentar dan awalnya Vicko malu-malu mau ikut buka puasa di rumah. Akhirnya dia setuju. Sudah 2 tahun aku ngga ketemu sama teman SMP-1-semester di Malang, ngga ada yang berubah sama sekali darinya.

            Rumah mulai ramai keesokan harinya karena tanteku plus keluarganya dari Semarang dan Jember datang untuk menghabiskan lebaran disini. Azka, keponakanku dari Dik Ronnie dan Mbak Dini membuat suasana di rumah makin ramai. Aku sadar kalau aku mulai tua dengan kehadirannya. Mungkin anak dari bude atau tanteku yang lain sudah lebih dulu lahir dibandingkan Azka yang baru berumur setahun, tapi mungkin karena perbedaan usia yang tidak terpaut jauh aku masih menganggap yang seharusnya keponakanku itu sebagai adik sepupu. Aku adalah yang termuda diantara semua saudara papaku karena papaku menikah paling terakhir. Nasib, masih kecil udah dipanggil “mbak” atau “kakak” sama yang lebih tua. Kalau sungkeman sama eyang dulu paling mbuncil gara-gara paling kecil. Sometime I am still in a denial.
           
            Lebaran kali ini sepi tanpa kunjungan ke rumah eyang baik dari mamaku atau dari papaku. Eyang kakung dari papa meninggal tahun lalu sedangkan eyang putri dari mama meninggal 2 tahun lalu. Cukup aneh menurutku suasana lebaran tanpa sungkeman dan dirayakan terpisah dengan saudara-saudara yang lain. Kadang masih terdengar jelas di dalam ingatanku saat eyang putri nelpon dan selalu tanya, “lagi lapo, nduk? Sinau?” haduh aku pengen nangis nulis ini. Keinget juga eyang kakung yang dulu suka ngajarin aku pelajaran bahasa jawa. Waktu memang harus kita syukuri dan gunakan sebaik-baiknya.

            Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. Laailaahailallahuallahuabar. Allahu akbar walillaa ilham. Suara takbir bersahut-sahutan. Malam itu aku bbman dengan ustad Dave soal mengucapkan selamat lebaran akan lebih terasa kalau tidak lewat broadcast message. Betul sekali, walaupun tanganku capek dan hapeku panas aku jadi lebih merasakan makna dari ucapan selamat lebaran ini. Hal yang kuamati, lebaran bukan sekedar ajang berkirim pesan atau kunjungan ke sanak saudara dan kerabat tapi juga lebih ke kesadaran akan kesalahan diri di waktu sebelumnya dan rencana kedepannya agar bisa menjadi lebih baik terhadap sesama.
            Lebaran hari pertama kami berkunjung ke rumah bude Ana di bumiayu dilanjutkan ke rumah om Joko. Disini ternyata ada keponakan kecilku juga namanya Marko yang dipanggil Coco. Yaampun duhai tante Fany (?). Setelah itu kami melanjutkan berkunjung ke rumah bude Tarmi di daerah Bandulan. Arsitektur rumahnya membuatku jatuh cinta, bukan tipe rumah megah tapi unik. Aku suka rumah tingkat dan agak berbelit-belit, misterius tapi seru. Lebaran hari pertama benar-benar penggendutan. Kunjungan kita ini selalu disuguhi makanan yang membuatku ngga bisa nahan. Galaunya adalah saat perut kita laper tapi pengen pup di waktu bersamaan. Hadeuh rempong. Akhirnya sampai rumah menjelang maghrib dan semuanya tepar.


            
Lebaran hari kedua kita open house, bener aja yang dateng beruntun dan bejibun. Sanak saudara, teman lama datang ke rumah untuk silaturahmi. Menu lebaran yang wah lagi membuatku tak tahan untuk segera menyerbunya. Aku mulai berpikir gunanya puasa mungkin untuk menahan nafsu makanku yang mulai ngga keruan waktu lebaran ini. Menu lebaran hari kedua adalah opor…opportunity untuk memilikimu hahahaha. Masakan Bu Mul memang nggak ada duanya, apapun yang dimasak selalu sempurna dan enak. Ya Allah, apa nasib berat badanku nanti kalau balik ke Jakarta? Lebaran hari ketiga tante-tanteku dan keluarganya pulang ke kota masing-masing dan gantian tante-tanteku dari Surabaya yang nginep di rumah. Walaupun ngga serame kemarin tapi cukuplah rame (?). Lebaran hari keempat Vicko, Danu, Tyo, Ofi main ke rumah. Kita ngobrol cukup lama di lapak kita, di deket kolam ikan di rumah. Kebanyakan kalau kumpul sama temen lama sukanya flashback kalau ngga nanyain kesibukan sekarang, sesekali kita juga membicarakan masa depan. Iya, kan udah gede, udah punya KTP.



Hari apa itu lupa mereka ke rumah dari habis tarawih sampe jam 11 malem


            Hari Jumat, lebaran hari ke sekian aku dan tante-tanteku dari Surabaya mengunjungi buyutku di daerah kepanjen. Buyutku ini sudah berumur 97 atau 98 tahun gitu. Secara silsilah ini bukan buyut langsung, buyut ini adalah kakak/adiknya buyutku. Ribet ya kalau mikirin silsilah. Sampai disana, kita langsung silaturahmi ke rumah eyangku juga. Eyang ini juga bukan eyang langsung tapi om-nya mamaku. Dari sini eyang-omnya-mamaku cerita kalau disini banyak saudara, entah darimana silsilahnya aku cuma mendengarkan eyang yang bercerita dengan bahasa jawa. Aku ngerti kok. Akhirnya kita pergi silaturahmi ke rumah eyang/buyut/saudara di kepanjen tadi yang belum pernah aku ataupun mamaku temui. “Ma, ini siapa sih?” “Mama juga ngga tau.” Kadang tumbuh dewasa ini membuatku takut akan gimana nanti seandainya aku tidak bisa menjaga hubungan silaturahmi antar saudara jauh yang dekat ini? Such a long relationship. Aku curhat sama mama dan katanya lakukan semampuku aja. Aku yang dulunya kaku dan jaim kalau ketemu orang sekarang jadi meluweskan diri, belajar bersosialisasi sama keluarga besar. Aku yang dulunya phobia sama anak kecil sekarang berusaha main sama mereka. Lama-lama asik juga. Maybe some of you are wondering why aku phobia sama anak kecil, yakan? Dulu menurutku anak kecil itu cuma bisa merepotkan, nangis lah minta ini itu, aku sumpeeeek. Dulu ya dulu, semakin dewasa aku sadar dulunya aku juga pernah kecil dan berperilaku seperti itu hahahaha. Akhirnya mulai melunakkan diri. Mungkin karena efek jadi anak tunggal, pusat perhatian selalu padaku, saat ada anak kecil pusat perhatian jadi beralih dan aku merasa ngga diperhatikan penuh. Tapi ya begitu, kita yang lebih dewasa harus bisa luwes dulu dan paham kalau anak kecil memang butuh perhatian lebih. Turunkan ego. Dan ternyata usahaku membuahkan hasil, mama cerita kalau tante Nik dan om Djo’ memujiku karena keluwesanku nemoni tamu-tamu. “Lha iyo iku, om. Mbiyen cilikane jaim, kuper. (Lah iya itu, om. Dulu waktu kecil jaim, kuper.” Jawab mama. Papa juga memujiku, “kamu hebat sekarang bisa nemoni tamu dengan enak, apalagi berani nanya duluan.” “Yaa kalo ani ngga nanya duluan ngga mulai dong, pa.” jawabku santai.

            Sabtu adalah hari yang kami harapkan jadi hari terakhir terima kunjungan tamu. Tamu bejibun sama seperti kemarin-kemarin. Hari ini adalah hari istimewa karena aku akan menerima kunjungan (azek, bahasanya jadi formal gini) dari Putri dan temen-temen Jupanca: Vicko-Danu (udah sepaket mah ini dari kemarin-kemarin juga udah sering main ke rumah), Sarah, Fitri, Safira. Alhamdulillah yah daripada ngga ada acara kumpul-kumpul sama sekali. Lapak kami tetap, di deket kolam ikan. Sebelum mereka datang, seperti biasa kalo mau ketemu orang banyak aku grogi dan memikirkan sesuatu berlebihan sampai kepalaku sakit hahaha. Sekitar pukul 10.00 kudengar seruan, “Faaanny!” eh ternyata Putri dateng bareng kakak sepupunya. Dia masuk membawa brownies Amanda yang kemarin sempat aku lewati tapi ngga mampir. She knows me well. Kakak sepupu Putri ternyata mahasiswi FKG UNEJ yang lagi koas. Aku sibuk mengkepoin mbaknya. Dia juga cerita kalau pas MOS ada yang jerit-jerit pas liat mayat. Aku bersyukur dalam hati karena sejujurnya aku takut liat mayat. Mungkin karena belum biasa ya.

Aku & Putri

            Pukul 10.45 Fitri datang disusul Danu pukul 11.00. Danu sama seperti Vicko, tidak berubah sama sekali. Tetep lucu dan menyebalkan. Ekspresinya juga tidak berubah, tetap datar dan mirip Patrick temennya Spongebob. Dia bertambah tinggi menjadi 181 cm dan terlihat lebih dewasa. Akhirnya semuanya berkumpul dan kami mulai chit chat, seperti kemarin-kemarin aku dibully. “Kamu yakin disana (Jakarta) kamu ngebully orang, Fan?” tanya Danu sambil ngakak. Aku diam. “Lha lek awak’e dhewe ndik kono lak merajalela, ko. (Lah kalau kita disana merajalela, ko)” kata Danu masih ngakak kepada Vicko. Mereka pun ngakak berdua dan kompakan membullyku. Aku mulai teringat satu orang yang suka kubully, Ides. Cewek cantik putih nan polos yang langganan jadi bahan bullyan waktu les. “Kualat nih. Kudu sungkem Ides.” pikirku.  Setiap aku ngomong berasa salah terus. Jadi kubiarkan mereka bercerita dan aku yang mendengarkan. Satu per satu mulai menceritakan pengalaman masing-masing atau sekedar flashback masa SMP dulu. Dan tiba-tiba kekepoan berujung pada nanyain aku waktu pindah ke SMPN 1 Singosari dulu. Aku cerita aja ya. Aku inget banget waktu pindah ke Malang 1 semester terakhir di SMP, ngga ada SMP negeri di Malang yang mau nerima pindahan kelas 9. Akhirnya takdir membawaku mendaftarkan diri ke SMPN 1 Singosari. Hari itu hari Senin, 22 Oktober 2011 aku menunggu bu Win di ruang depan. “Kamu di 9A ya?” “Bukan, bu, kemarin katanya saya di 9B.” lalu bu Win mengantarku melewati koridor dan rasanya malu sekali diliatin banyak orang. Sambutan hangat terasa saat aku masuk kelas ini. Aku disuruh memperkenalkan diri di depan kelas. “Nama saya Annisa Tristifany.” Kataku malu-malu :3. Dan blah blah blah. “TTL! TTL!” seru Hasna. “Malang, 20 Januari 1997.” jawabku. Banyak pertanyaan terlontar dan pertanyaan terakhir yang super random dari sesorang yang aku lupa siapa, “gantengan cowok disini apa disana?” aku terdiam. Bingung. “Nggak usah di jawab.” Kata Vicko. Mereka satu per satu gantian memperkenalkan diri. Dan kemudian bu Win masuk kelas. “Nanti aja ya dilanjutkan perkenalannya.” Aku kemudian duduk. Udah ya segitu dulu ceritanya. Kita mulai mengobrol sesuatu yang sebentar lagi akan kita jalani, UN dan ujian masuk PTN. Dan kehidupan kita setelahnya. Di awang-awangku masih banyak tanda tanya tentang kehidupanku mendatang. Hal-hal seperti: nanti aku lulus umur berapa, menikah sama siapa, umur berapa, dimana, aku menetap di kota mana dan hal-hal semacam itu.  Soal ini selalu terselip di dalam do’aku sehabis sholat mudah-mudahan jodohku nanti sesuai kriteria mama: smart, santun, rajin beribadah, dan seagama. Akhirnya reuni kami ini berakhir setelah sholat maghrib, baru kerasa deh capeknya dan aku langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Mama masuk ke kamarku, “Nini kenapa? Kok sedih gitu ditinggal temennya pulang?” “Nini ngga sedih, ma. Cape.” Jawabku.

Setiap foto, Danu selalu jadi tangsis karena tangannya paling panjang

            Hari Minggu aku begitu mager dan ingin menikmati setiap detikku disini sebelum kembali lagi ke Jakarta. Aku duduk di teras dan menikmati hembusan angin pagi sambil merasakan dinginnya udara menembus kulitku. Aku naik ke lantai atas yang hanya ada tempat jemuran untuk melihat gunung Arjuno yang terlihat jelas setiap pagi. Entah kenapa rasanya aku gelisah sekali. Secepat inikah? Momen-momen menyenangkan memang selalu terasa begitu cepat.


            Akhirnya hari kepulangan tiba, Senin, 4 Agustus 2014 aku menuju bandara abdulrachman saleh pukul 11:30. Pesawat take off pukul 14:30, belum pernah seberat ini rasanya meninggalkan Malang.  Indahnya Silaturahmi, Serunya Reuni



Gunung Arjuno

Aku, Mama, dan Bu Mul

            

When Emotions Are Dominant

Have you ever seen a debate? Debate begins when the first speaker speaks about their opinion related to the motion. At first, the situation is controllable and calm. But when it reaches the climax? Everything seems like BOOM! There is a kind of team who cannot control their emotions. They will try to keep speaking out their minds although the time limit has been done. Let me tell you my own experience. I was on the 10th grade of senior high school when I decided to join a debate competition with 2 somebodys I haven’t known yet. First, I want to ask you, how does it feel? Counting Day-D and not knowing with whom you will try to win this competition. My senior gave me all the motions, there are 10. She also taught me how to debate. I kept nodding. Really, honestly, actually, I hate all things about debate. I love peace (?). Seeing people defended what they believe true even sometime it isn’t is very ‘nggregetin’. Finally, it was the day-D of the competition, we were getiing ready and I was the first speaker. With all my first beginner experience, I was trying to speak as long as I could. But I couldn’t. I didn’t really understand with the motion, honestly. The time left is still long. This condition wasn’t the same with our opposite team, their first speaker spoke so much that I (honestly) did not understand what she was talking about. This is debate using english but that first speaker blurt some words using bahasa Indonesia, like “hari kemerdekaan.” She talked very fast and all that I heard is the sentences that have the same meaning repeated. Nah, when it reached the climax… My team was delivering our opinions simply. Maybe the opposite team thought that we didn’t understand the motion (actually, I did). I saw that boy, their second speaker, standing with that angry face to us. He was soooo emotion, that his face was like: “Don’t you understand the motion?” (-__-). The other friends, the first and the third speaker stood up also but to calm him down. I wanted to laugh. Hahaha. It’s only a competition but he’s very yahh ‘terbawa suasana’. Finally, we lost. Not a happy ending, but that was alright.

This phenomenon is not only happened in a debate but also a discussion. There was a discussion and each group are allowed to give their opinion whether if it’s an agreement or disagreement. And unfortunately, there was a group who said “agree” when the other didn’t. All “disagree” groups shouted their opinion and told that the “agree” group’s opinion is wrong and they have to be like them who disagree. Moreover, rather than think, accept, and appreciate the opinion which is different with theirs, they kept talking and defended. This is so exhausting to see and hear. Sometime I wonder why somebody becomes like losing their senses when they believe something that might be false. They do not want to hear others that might be true. Their minds seems like have set up not to believe things that is not similar with what they’ve concluded. What if they are right and you are wrong?


This reminds me about all the moments before the day we choose our next president. I support the candidate that most of my friends didn’t. When I updated my pm and said a thing about my candidate, I got respond. “Are you sure with your decision?” “Let me tell you something..” and it ended up they sent me links and photos which contain the negative sides of the candidate I support. Before I can even breathe, they sent me more and more. I think that I also have rights to choose somebody whom I think right. I also open my twitter timeline and it was like a war between the supporters of both candidates. Not rarely they expose the dark side (that I think some of those news can be wrong, they sometime do not check the sources of the data or news). I got dizzy seeing this. You cannot force someone to believe or become like what you wanted since everybody has their own minds. In addition, compare to search for the candidates-that-you-don’t-support’s flaws, you can look for the candidate-you-support’s programs and compare both of their programs. You see, which will be best and possible to pursue. So you don’t waste your precious time on thing that has no function. I remember, when our emotions are dominant we might be lost our logic. When we really hate the other’s candidate or opinion, everything they do will seem like ‘apaan sih’. Try to stay calm and cool your mind. Listen. Listen. Listen and listen before you speak. Because when we speak a lot, we won’t learn a thing. Listen then speak.

Aku dan Menulis

Menulis itu menyenangkan. Menurutku. Karena saat kita menulis kita bisa menuangkan apa-apa saja yang ada di pikiran kita. Entah itu khayalan, pendapat, luapan emosi, dan lain-lain. Menulis terkadang merupakan wujud tentang pemikiran yang tidak bisa kita keluarkan dan saat kita memulai dengan kalimat pertama, semua kalimat muncul dan menjadi sesuatu yang menarik. Magic! Aku mulai suka menulis sejak SD, dulu aku suka bikin puisi. Tante Lisa, temen mama pernah ngasih aku kertas (mirip perkamen) saking sukanya aku bikin puisi. Mama juga masih menyimpan puisi alay karangan anaknya yang kalo aku baca aku malu sendiri. Menulis jadi hobi baruku dan mungkin memang ditakdirkan ada padaku sejak aku dilahirkan. Ini serius loh, eyangku dulu cerita. Okay, tau iklan minyak telon yang ada anak bayi dimasukin ke kurungan ‘kandang ayam’ terus disuruh milih barang, dia milih minyak telonnya kan? Nah aku juga digituin, tapi aku ngga milih minyak telonnya. Ngga ada juga. Disitu disediakan beberapa barang seperti uang, alat tulis, dan barang-barang lain. Ternyata Fany kecil memilih kertas dan alat tulis yang kata eyang  artinya di suka menulis. Kalau uang? Artinya dia pinter cari uang nanti. Tuh kan tau kan sekarang menulis sudah ada dalam benakku sejak aku lahir. Hahaha.

Menulis itu bisa membuatku lega akan sesuatu yang suka nyesek dalam hati atau pikiran. Setelah ‘dimuntahkan’ dalam bentuk tulisan itu rasanya subhanallah lega sekali. Unek-unek dan kawan-kawannya ngga lagi bersemayam dalam pikiran. Menulis juga membantuku mengenang sesuatu yang tidak ingin aku lupakan. Dan ketika aku membacanya kembali, aku akan ingat bagaimana dulu ini terjadi.

Aku pengen suatu saat nanti jadi penulis terkenal kayak J.K Rowling. Aku pengen orang-orang baca tulisanku dan terinspirasi dari itu. Aku berusaha menshare semua pendapatku tentang hal-hal yang aku kurang setuju dan berbagai macam realita hidup yang jadi pengamatanku. Berharap jika yang membaca mengerti dan bisa menjadi lebih baik. I really appreciate if you leave a comment below the posts on my blog. Whatever it is.