Rabu, 30 Desember 2015

Pelajaran Berharga dari yang Sederhana

Assalamu’alaikum.

Gimana kabarnya, silent readers? Kalau aku mah silent admirer hahaha. Duh jadi baper. Jadi pada postingan kali ini aku ingin berbagi secuil pengalaman pertamaku di Dusun Ngandong Yogyakarta.

Awal mula tercetusnya PoA (Plan of Action) ini saat dimenangkannya divisi Pengembangan Masyarakat saat berakhirnya acara Makrab Carotis 2015. Sebelum berangkat makrab ke Villa Tambi di Dieng, kami dari angkatan 2015 dibagi per divisi yang terdiri dari: Pengembangan Masyakat, Pendidikan dan Profesi, Kastrad, Kewirausahaan, Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa, Eksternal dan Kominfo, dan SeniOr (Seni dan Olahraga). Masing-masing divisi diminta untuk membuat satu PoA yang apabila menang nanti akan diwujudkan bersama-sama.

Ternyata pemenang jatuh kepada divisi PengMas! PoA mereka diberi judul “BETA MELEKAT” yang merupakan singkatan dari Berbagi Ilmu dan Pengetahuan Merajut Pelangi dan Menjadi Lebih Dekat. PoA ini mengharuskan kita untuk berkunjung ke salah satu desa binaan UII dan menginap satu malam dalam rangka sosialisasi. Kami dari angkatan 2015 dibagi menjadi 3-4 orang untuk bermalam di rumah warga setempat dan mensosialisasikan materi tentang kelorisasi, pola hidup sehat, dan keagamaan. Acara ini insyaAllah akan dilaksanakan pada 18-19 Desember 2015. Ini merupakan pengalaman pertama bagiku.

Seusai kuliah histologi tentang mata yang berakhir pukul 15:10, kami langsung bergegas kembali untuk mempersiapkan barang bawaan. Cuaca mulai mendung dan rintik air hujan mulai turun. Sekitar pukul 16:15 kami berangkat menuju ke Dusun Ngandong yang terletak kurang lebih 8 km dari gunung Merapi. Sepanjang jalan menuju dusun terlihat banyak kebun. Jalan yang kami lalui semakin lama semakin terasa menyempit. Kami tiba pukul 17:00 dan disambut dengan hujan yang semakin deras.

Tempat kami berkumpul adalah rumah milik Mbah Hadi. Tak jauh dari rumah, terdapat kandang sapi. Di halaman rumah Mbah Hadi didirikan tenda untuk acara keesokan harinya, yakni senam pagi, jalan sehat, doorprize, dan pelayanan kesehatan gratis. Setelah semua anggota lengkap, kami melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu. Laki-laki pergi ke masjid, sedangkan perempuan sholat di rumah Mbah Hadi. Problem pertama yang kurasakan adalah penerangan saat matahari mulai pergi, daerah sekitar terlihat gelap. Jarak rumah satu dengan yang lain juga tidak bisa dibilang dekat dan rapat karena masih dipisahkan oleh kebun-kebun. Kami menyeberang menuju kamar mandi umum yang letaknya tidak jauh dari rumah Mbah Hadi. Aku bersyukur membawa power bank yang bisa digunakan untuk senter, karena memang kondisi sekitar minim penerangan. Beberapa anak terlihat mengantre panjang dan ternyata air untuk wudhu mati.

Menjelang pukul 19:00, kami mulai menuju rumah warga sambil membawa sembako. Berhubung jarak antar rumah tidak bisa dibilang dekat ditambah minimnya penerangan, kami pergi dengan menggunakan mobil. Beberapa pemuda dusun Ngandong turut menunjukkan jalan. Akhirnya aku, Yevy, Tina dan Wiska tiba di rumah yang akan kami singgahi selama satu malam. Ternyata rumah tersebut merupakan milik Kepala Dukuh. Sambutan yang hangat dan ramah dari Bu Dukuh membuat kami merasa lega, kami langsung ditawari untuk makan malam. Dengan gaya sok menolak, kami meminta untuk tidak usah repot-repot. (Yha, kenapa selalu begini -_-) sebaliknya, perutku yang kosong sejak pukul 10 pagi makin menjadi. Bunyi “dung-dung” semakin nyaring menandakan bahwa dia butuh makan.

Akhirnya kami mulai mensosialisasikan materi, tentunya harus diselingi dengan obrolan-obrolan agar tidak terlalu kaku. Dari cerita Bu Dukuh, ada beberapa hal yang membuat alisku naik. Warga dusun baru-baru ini mendapat kemudahan sumber air karena dibangun pipa dari sumber mata air di dekat tebing yang kemudian dialirkan menuju rumah-rumah. Tahukan siapa yang membantu mereka membuat pipa? Orang asing. Hal ini membuat kami semakin penasaran, “Lho, pemerintahnya bagaimana, bu?”

Tinggal di lereng gunung merapi tentu membuat kami berempat penasaran bagaimana kondisi dusun ini saat bencana tersebut melanda. “Iya, mbak, tandanya kalau mau meletus itu hewan-hewan di atas pada turun terus hawanya panas.” Jelas Bu Dukuh. Beliau melanjutkan ceritanya tentang pengungsian selama tiga bulan di GOR Sleman. Pasca bencana berlalu, kondisi dusun baru bisa normal dalam satu tahun. “Satu tahun?” cengangku. Waktu yang sangat lama. Selama di pengungsian Bu Dukuh bercerita kurangnya fasilitas WC.

Selanjutnya aku menyimpulkan bahwa warga dusun belum mengetahui tentang pola makan sehat, mungkin sebagian masyarakat Indonesia juga begitu. Teringat tentang salah satu acara di TV, piramida makanan masyarakat Indonesia terbalik dengan Australia. Orang Indonesia menempatkan karbohidrat di puncak, sedangkan Australia menempatkan buah dan sayur di puncak. Fenomena yang sudah sering kita lihat adalah makan mie dengan nasi, dua bahan makanan yang sama-sama berfungsi sebagai penghasil energi utama alias karbohidrat. Hal ini tidak boleh terus dibiarkan, perlu adanya edukasi lebih lanjut tentang pola makan yang sehat.

Keesokan harinya, aku dan Tina berangkat terlebih dahulu menuju rumah Mbah Hadi karena kami berdua merupakan panitia pelayanan kesehatan. Kami dihimbau untuk turut mengajak warga mengikuti acara ini. Sebelum berangkat, Bu Dukuh membuatkan mie instan untuk sarapan kami. Aku membantu beliau sementara ketiga temanku sedang antre kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. “Tak bikinkan teh ya, mbak?” “Ibu.. ngga usah repot-repot, air putih aja” balasku. “Nggak ada i, mbak. Harus masak air dulu. Oh iya, kemarin nggak boleh minum teh ya..” “Iya, setengah jam sebelum makan dan sesudah makan hehe” aku melemparkan senyuman (?). Persediaan air mineral saja belum ada dan sehari-hari minum teh sebagai “air putih” mereka...

Aku dan Tina berpamitan pada Bu Dukuh dan Pak Dukuh. Pagi yang mendung disertai hujan rintik-rintik membuatku harus membuka payung. Di jalan kami berjumpa dengan salah satu warga yang ingin mengikuti kegiatan pagi ini. Di sepanjang jalan tak jarang dijumpai anjing yang berkeliaran karena memang tidak semua penduduk beragama islam. Akhirnya kami sampai di rumah Mbah Hadi, tak lama kemudian warga mulai berdatangan. Acara pertama adalah senam pagi yang dipimpin oleh Muham, Kemal, Ivan, Faiz, dan Fairuz. Senyuman tak bisa kubendung melihat adek kecil yang unyu-unyu mengambil barisan paling depan, beberapa sesepuh juga turut serta. Seusai senam, warga disuguhi bubur kacang ijo dan susu. Sementara panitia YanKes semakin sibuk mempersiapkan rumah Mbah Hadi sebagai tempat pelayanan kesehatan gratis. Aku memilih menjadi asisten dokter, sementara Tina menjadi apoteker.

Antusiasme Warga Mengikuti Senam Pagi
                        

Instruktur Otodidak
               

Pelayanan kesehatan dimulai pukul 08:45, aku dan Aul menjadi asisten dokter Dimas. “Nanti yang kalian lihat ini bukan contoh komunikasi yang efektif, ya..” kata dokter Dimas. “Karena harus cepet-cepet, yang datang banyak.” Pasien pertama pun masuk, dengan ramah dan cekatan, dokter Dimas meladeni setiap orang. Aku tertegun saat dokter Dimas berkata, “Dek, ini tolong bapaknya ditensi lagi...” “Maaf dok, saya belum bisa nensi..” “Oh yasudah ngga papa...nggih, pak, ben manteb kulo mawon nggih” aku merasa malu.

Sementara itu Nesti berjaga diluar memanggil pasien-pasien yang mulai tidak sabar ingin segera berjumpa dengan dokter (cieee...). Aku membantunya di front desk, sementara Aul membantu dokter Dimas di dalam. Tak terasa waktu sudah mendekati pukul 11, sudah dua jam aku berdiri disini, memanggil nama pasien dari kertas anamnesis sembari mengucap “Sekedap malih nggih...” atau “Monggo” dan “Teng mriki” dengan logat bahasa jawaku yang mulai aneh. Beberapa kali dari bagian apoteker menginformasikan ke asisten dokter bahwa ada stok obat yang habis.  Tak lama kemudian Nesti tumbang dan tinggalah aku sendirian. Ternyata begini rasanya bekerja melayani masyarakat.......... Aku tahu lelahku tak sebanding dengan dokter Dimas dan dokter Alyda, tapi sungguh bahagia bisa menolong orang lain.

Tim Pelayanan Kesehatan Bagian Obat
                      

Pasien yang Sedang Konsultasi dengan dr Dimas
               

Acara dilanjutkan dengan penutupan dan kembali ke rumah warga masing-masing untuk menyerahkan bibit kelor sekaligus berpamitan. Bu Dukuh telihat sedih saat kami berpamitan, tak hentinya beliau mengucapkan doa agar kuliah kami sukses dan dimudahkan. Akhirnya kami kembali menuju rumah Mbah Hadi untuk makan bersama dan pulang. Bus demi bus datang untuk menjemput kami. Tinggalah rombonganku yang naik mobil Wiska dan beberapa anak laki-laki yang rela menunggu bus karena mendahulukan perempuan (ihiy). Untuk mengisi ke-gabut-an sesaat, aku mengajak Yevy dan Tina untuk foto loncat. “Alay...” komentar Kemal. “Aku ikut...” dia melanjutkan. Akhirnya kami berpose dan melompat beberapa kali demi mendapatkan foto yang apik. Terima kasih Muham yang rela memfotokan kami walaupun sedikit maksa! Hehe =))

This is the first time. Membuatku lebih membuka mata melihat kondisi sekitar dan menghayati peran seorang dokter yang salah satunya sebagai community leader untuk membawa sebuah lingkungan menjadi lebih sehat.


I’m a doctor. I’m a leader. Be gold. Be bold. Take action with your passion!” (Yel-yel LKMM 2015)

Foto: Pubdok BETA MELEKAT 2015