Selasa, 08 Juli 2014

My Top 10 Westlife Songs

My Top 10 Westlife Songs

1.    My Love
2.    As Love is My Witness
3.    Catch My Breathe
4.    I’m Already There
5.    Us Against The World
6.    What Makes A Man
7.    When A Woman Loves A Man
8.    Flying Without Wings
9.    If Your Heart’s Not In It
10. Bad Girls

Besides my top 10 Westlife songs, I would like to suggest 10 Westlife songs which will match with wedding party (or maybe my wedding in the future. Aamiin. Hehehe.)
1.    I do
2.    More Than Words
3.    We Are One
4.    Forever
5.    As Love is My Witness
6.    Tell Me It’s Love
7.    No Place That Far
8.    Every Little Thing You Do
9.    Unbreakable
10. Queen of My Heart


Foto Jaman masih mas-mas

My First Umrah: the best and unforgetable (Part 2)

Sebenernya ini mau dijadikan satu sama postingan sebelumnya tentang cerita umrah, tapi takut kepanjangan hehehe. Jadi, sepulang umrah aku berusaha lebih baik lagi dalam mendalami islam dan melaksanakan ibadah. Makkah memang ajaib ya, seakan habis pulang dari sana pikiran di-refresh dari hal-hal yang selama ini aku sempet melenceng (bahkan parah). Alhamdulillah akhirnya ya (?)

Pertama, dulunya aku ngga kebiasa sholat sunnah rawatib tapi sekarang mulai dibiasakan mengerjakan sholat sunnah. Dan aku menarget diri supaya minimal sholat sunnah sebelum atau sesudah sholat wajib. Sunnah itu sebenernya bukan: “kalau dikerjakan mendapat pahala kalau ditinggalkan tidak berdosa.” tapi lebih ke: “kalau dikerjakan mendapat pahala kalau ditinggalkan sia-sia.”. Alhamdulillah nggak cuma sholat sunnah yang mulai aku kerjakan, puasa sunnah senin-kamis juga mulai dilatih walaupun kadang senin doang, kamisnya tepar ga bangun sahur. He he. Aku juga mulai belajar sholat tahajjud, berusaha bangun malem pakai alarm. Termotivasi dari hadits yang bilang kalau do’a orang tahajjud itu laksana anak panah yang dilepaskan dan tidak akan meleset. Dan satu lagi, kebanyakan penghuni surga nantinya adalah orang yang bangun di malam hari untuk melaksanakan ibadah. Tapi keseringannya alarmnya bunyi, aku matiin, tinggal tidur lagi. Astaghfirullah, godaan syaitan ini kuat sekali. Tapi namanya juga belajar J

Kedua, dulunya menganggap orang-orang yang terlalu sering membahas islam di socmed itu berlebihan. Sekarang malah setiap retweetku bukan lagi akun quotes yang biasanya, malah jadi akun islami seperti @tausyiahku @haditsku twitternya ustad Felix, @felixsiauw, dan banyak lagi. Dari timeline user twitter di atas aku makin banyak belajar soal islam. Di instagram juga follow @islamicpostz yang keseringan quotesnya aku jadiin DP BBM hehe. Ada lagi buat mengobati kerinduan tanah suci follow @makkahmadinaah. Banyak deh. Aku juga nggak nyangka aja gitu kok aku yang dulunya islam KTP bisa jadi islam asli begini. Ngga papa, kan berubah menjadi lebih baik.

Ketiga, hijab hijab hijab! WHYYY sudah lama berhijab tapi kok masih belum sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits?!?!?! Kenapa baru sekarang sadarnyaa? Kenapa dulu keluar rumah suka ga pake kerudung? Kenapa kalau liat perempuan hijab syar’i malah kayak “ih”? ya Allah tobat deh tobat saya. Bisa dibaca latar belakang kenapa aku mulai belajar hijab syar’i di post sebelumnya “Hijab (Syar’i)”. Sekarang baru sadar manfaatnya berhijab. Apa ya? Ngerasa ada yang jagain dan nyaman aja karena ngga harus pake yang ketat-ketat. Susah make susah nyopotnya. Wkwk. Walaupun kalo keluar rumah masih suka di-“neng mau kemana”-in. Atau “assalamu’alaikum..lho kok ngga dijawab?” (-__-). Banyak perempuan berhijab cuman belum sesuai sama peraturannya bagaimana. Like I used to be in the past. Dulu suka ga pake kaos kaki, padahal kaki juga aurat, pake celana jeans padahal ketat dan memang ngga boleh, kerudung yang ngga menutup dada dan kadang masih nerawang. I remember when my best friend, Aci said, “kamu berhijab kok masih keliatan kupingnya?” haduh aku malu sekali.

Keempat, selama ini aku sadar kalau aku belum mengenal Nabi Muhammad SAW sebaik aku mengenal pesonil Westlife. Astaghfirullah (lagi). Aku hapal dimana dan kapan masing-masing personil Westlife lahir, warna kesukaan, nama bapak-ibu, istri, adek-kakak, nama anjingnya Mark (-_-), dll. Tapi aku ga tau tentang Nabi Muhammad SAW. Kadang malah suka ketuker nama kakek sama ayahnya. Nama ibunya kadang lupa. Nama istri yang aku tau cuma Siti Khadijah sama Aisyah ra. Perjuangannya? Ya Allah aku ngga tau dan sekarang aku merasa bersalah banget. Umat macam apa ini ngakunya islam tapi kok nggak tau apa-apa soal junjungannya, idolanya, orang yang dianut. Astaghfirullah (lagi). Akhirnya aku banyak beli buku tentang sejarah Nabi Muhammad SAW, perilaku beliau sehari-hari, sama kalau beli buku sekarang pasti ada hubungannya sama islam. Meneladani perilaku dan nabi bersikap dari banyak aspek itu rasanya makin tentram. “Beliau ini perfect.” Batinku sembari membolak-balik lembar demi lembar. Setiap hal selalu dilakukan dengan baik dan tidak pernah lupa sama Allah SWT. Beliau rajin ibadah walaupun sudah dapet jaminan surga. Subhanallah, ngga malu kah kita yang belum tentu masuk surga malah sombong sekali seolah-olah ngga butuh pahala dan kasih sayang Allah? Coba bayangkan seandainya kita MALAS sholat, gimana kalau Allah MALAS ngasih kita nafas? Naudzubillah. Jadi, jangan tinggalkan sholatmu, nak. Tegakkan tiang agama. Aku ngga lagi terlalu peduli quotes-quotes di twitter, aku malah lebih tertarik sama hadits-hadits dan berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. And now, if somebody asks me who is my idol? I will proudly answer, “Nabi Muhammad SAW.”

Cerita dikit ya, buku pertama tentang Nabi Muhammad SAW yang kubaca judulnya MUHASABAH CINTA karangan @tausyiahku dan @haditsku. Awalnya aku ngga tau kalo ini ujung-ujungnya bahas tentang jodoh. Lembar pertama pun kubuka. Biar aku kutip dikit ya: “Saat itu Rasulullah berkumpul dengan para sahabatnya. Hadir juga sahabat beliau yang paling setia, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasulullah SAW berkata padanya, “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudara-saudaraku.” Tiba-tiba suasana menjadi sepi. Semua yang hadir langsung diam seperti sedang memikirkan sesuatu, terutama Abu Bakar. Itu pertama kalinya dia mendengar orang yang sangat dikasihinya mengatakan hal itu. Senyumannya mengembang, wajahnya merona. “Apa maksudmu berkata demikian, Rasulullah?” Abu Bakar berusaha melepaskan teka-teki yang menyelimuti pikirannya. “Tidak, Abu Bakar, kalian adalah sahabatku, bukan saudaraku.” Rasulullah menjawab dengan lembut. “Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah.” kata seorang sahabat yang lain. Rasulullah menggelengkan kepala sambil tersenyum. Kemudian beliau bersabda, “Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi beriman kepadaku dan mereka mencintaiku lebih dari anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku, dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.” (HR Muslim). Terbukti kan besarnya kasih sayang dan cinta Rasulullah kepada umatnya, termasuk kita? Orang-orang yang beriman kepadanya meski lahir jauh hari dari masanya. Rindu Rasulullah kepada kita sangat besar, melebihi rindunya kepada sahabat-sahabat yang agung. Bagaimana dengan kita? Apa kita juga merindukan beliau? Atau, kita justru membiarkan cinta dan kerinduan beliau bertepuk sebelah tangan? Sudahkah kita menempatkan diri sebagai saudara-saudara yang dirindukan dan merindukan Rasulullah?” begitu kurang lebih opening bukunya. Diluar dugaan, aku nangis. Aku merasa bersalah. Begitu rindunya Rasulullah SAW sama kita, tapi kita…….? Inget aja mungkin udah syukur. Astaghfirullah.

Let me show you the ending yang nggak kalah nyes juga: “Kemudian anak kesayangan  Rasulullah itu kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata. Beliau bertanya kepada Fatimah, “Siapa, Anakku?” “Aku tak tahu, Ayah. Sepertinya baru sekali ini aku melihatnya.” Fatimah menjawab lembut. Rasulullah menatap putrinya dengan pandangan yang menggetarkan. Satu persatu bagian wajahnya seolah hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut.” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi dimana malaikat Jibril yang biasanya menemani beliau? Rasulullah bertanya-tanya tentang hal itu. Kemudian, dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia untuk menyambut ruh kekasih Allah itu. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasullah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu.” kata Jibril. Jawaban itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega. Matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak…” “Jangan khawatir, wahai Rasulullah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku, ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.’” Detik demi detik berlalu, hingga tibalah malaikat Izrail melakukan tugasnya. Perlahan, ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh beliau bersimbah peluh. Urat-urat lehernya menegang, “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Fatimah terpejam. Ali yang berada di samping beliau menunduk semakin dalam. Sementara Jibril membuang muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu, Jibril?” tanya Rasulullah kepada malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang tega melihat kekasih Allah direnggut ajal.” kata Jibril.  Sementara kemudian, terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini. Timpakan saja semua derita maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.” Kalimat Rasulullah SAW bikin aku seolah ada disana dan langsung pengen meledak nangis kayak Fatimah. Beliau senantiasa memikirkan umatnya bahkan menjelang ajal dan saat dicabut nyawanya. Tapi kita….? Coba lebih mendalami tentang diri kita dan ketahui betapa Rasulullah SAW sangat sayang sama kita.

Buku-buku 'baru' yang membuaku jadi 'baru' dan lebih baik

Kelima, aku jadi terinspirasi nulis di blog lebih banyak soal islam. Pengen belajar dakwah walaupun sekedar broadcast dari BBM atau whatsapp. Pengennya membahas islam ngga henti-henti, karena semakin memperdalam, islam itu makin indah dan menyejukkan hati. Insya Allah. Aku juga pengen kadang bikin orang lebih baik dari tulisanku, misalnya yang hijab kemarin, harapanku mereka bakal keluar dari jalan gelap (kaya aku dulu) ke jalan yang bener. No more tight clothes and your hijab should cover your chest. Don’t forget to wear shocks, your feet are aurah too.

Keenam, aku jadi suka denger lagu rohani. Standar dulu deh, lagu insyaAllah-nya Maher Zain. Lyricnya ngademin dan bikin selalu ingat sama Allah. Chosen one juga tentang Nabi Muhammad SAW, kadang malah pengen nangis dengernya, rindu sama Rasulullah SAW.
Don’t despair and never loose hope. Cause Allah is always by your side.” dan “Turn to Allah, He’s never far away. Put your trust in Him. Raise your hands and pray.” Ngena banget lyricnya.


Perubahan-perubahan yang cepet ini membuatku kadang suka aneh dan merasa asing sama diri sendiri. Kayak bukan aku…ini siapa..dulu aku ngga gini..aku terombang ambing dalam kegalauan mencari jati diri (?) ß korban puisi. Namun ketentraman hati dan mantabnya iman makin kurasakan setelah menreboot diriku yang baru ini. Islam membuatku makin bahagia dan bersyukur. Alhamdulillah ya Allah, semoga aku bisa menjadi hamba yang lebih baik lagi dan jauhkan kami dari hal-hal yang tidak kau ridhai. Aamiin.




Minggu, 06 Juli 2014

My First Umrah: the best and unforgetable

Sore itu seperti biasa sekitar pukul 17:30 aku dan papaku menjemput mama pulang kerja di stasiun klender baru. Terdengar sirine yang menandakan bahwa kereta akan lewat dan palang akan segera ditutup. Dan aku masih sibuk sendiri dengan handphone sementara papa menunggu diluar mobil sambil mencari mama diantara kerumuman orang yang turun dari kereta. Pintu belakang mobil dibuka dan mama masuk. Seperti biasa, dengan raut wajah kelelahan karena pulang kerja atau mungkin karena tergencet-gencet di kereta yang tidak pernah sepi di jam sibuk seperti ini. Aku hanya diam. “Assalamua’alaikum mam.” “Waalaikumsalam.” Jawab mama. Sementara papa menyalakan mesin mobil dan segera melaju pulang. Adzan maghrib terdengar dan aku masih melihat mama dengan tatapan termenung. Sesampainya di rumah mama langsung meletakkan tasnya dan duduk di meja makan. “Mama nggak dapet umroh.” Aku menatap matanya yang berkaca-kaca. Aku terdiam, hanya bisa terdiam. Aku juga merasakan hal yang sama, hatiku juga sedih saat melihat mama sedih. Kuputar otak dengan cepat untuk menemukan kata-kata yang setidaknya bisa menenangkan. “Mungkin mam harus berangkat pakai biaya sendiri..” aku duduk dihadapannya. “Iya..” kata mama mengusap air matanya.

Setelah selesai sholat maghrib aku berdoa, “Yaa Allah izinkan mama pergi ke mekkah. Mama sudah lama pengen pergi kesana. “ kuselipkan do’a itu di dalam daftar do’a rutinku. 3 hari kemudian aku kembali menjemput mama di tempat yang sama kali ini dengan mimik yang berbeda, begitu senang. Ternyata mama dapet umroh. Sama sekali tak kubayangkan do’aku dikabulkan oleh Allah secepat itu. “Tuh kan mam rejeki itu nggak kemana..” kataku tersenyum. Setelah itu mama mulai menyusun plan menjelang hari keberangkatan umroh. Papa juga ikut. Dan aku belum ketahuan bagaimana nasibnya. “Fanny mau ditemenin siapa nanti?” Tanya mama. “Mmm ngga tau..” aku tak bisa membayangkan seminggu tidak bertemu mama sama papa. Haha maklum anak tunggal.

Cerita makin menarik saat papa menjemputku pulang sekolah pukul 15:00. Selama perjalanan pulang, “Kayaknya mama mau ngajak kamu umroh.” Aku merasakan jantungku berhenti sejenak dan napasku tertahan. “Hah? Bener?” tanyaku. “Iya. Mama mau bikin paspor dulu.” Fyi, Januari kemarin aku tepat berumur 17 tahun dan belum punya KTP. Tak lama kemudian hape papa bunyi, ringtone yang khas yaitu sirine stasiun kereta kesayangannya. “Baca fan dari siapa.” “Mama.” Jawabku. “Apa katanya?” “Pa jangan bilang-bilang Fanny dulu ya kalau mau diajak.” Aku membacakannya sambil tertawa. Barusan juga dibocorin. “Yaudah nanti kamu pura-pura ngga tau aja ya.” Kata papa.

Ngurus paspor bukanlah hal gampang. Mama mendatangi travel kita di bekasi dan menanyakan apakah aku masih bisa ikut walaupun belum bikin paspor. Alhamdulillah masih bisa dan nanti diuruskan sama travelnya dengan biaya tambahan. Satu problem lagi muncul, paspor harus pakai KTP berhubung aku sudah 17 tahun. Kemarin aku dengar Dea bikin KTP baru jadi 3 bulan..hening..hening..hening. Akhirnya dengan segala usaha KTPku jadi, KTP sementara. Singkat cerita semua dokumen akhirnya beres dan tinggal menunggu hari H.

Hari menjelang keberangkatan kurang dari sebulan lagi. Aku dan mama pergi ke thamrin city untuk mencari keperluan umroh. Dan akhirnya kami pulang membawa tentengan plastic besar berisi kain ihram papa, baju ihramku dan mama, dan keperluan lain. Hari berlalu makin cepat dan saat itu hari Rabu, 7 Mei 2014. Aku tidak bisa izin pulang lebih awal karena 2 pelajaran terakhir ada presentasi dan ulangan. Aku bergegas pulang ketika bel berbunyi pukul 15:15. Aku mandi dan sholat ashar, “Ya Allah ini sholat ashar terkahir di Indonesia sebelum ke sana.” Batinku. Hahaha lebay banget ya. Dan batinan ini terus kubatin hingga sholat dhuhur esoknya di bandara soekarno-hatta. Aku diantar sepupuku ke stasiun klender baru dan naik krl bersama papa. Setelah maghrib kami sampai di Hotel Bintang. Tempat kami menginap dan manasik malam ini.

Aku tak kuasa menahan rasa haru dan bahagia yang tak tertandingi saat akan menulis cerita menakjubkan yang sama sekali tak kuduga. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara Ustad Rasyid memimpin rombongan kami membaca do’a saat thawaf, sa’i, dan memberi salam saat ziarah. Dan masih terbayang ekspresi sang ustad saat berpisah dengan bus kami di Laut Merah, matanya berkaca-kaca. Aku juga tak tau darimana harus memulai. Semuanya terjadi begitu cepat dan terlalu cepat. Bahkan sampai detik ini aku masih tidak percaya bahwa ini nyata dan benar-benar aku alami. Samar-samar juga aku masih bisa mendengar manasik dari ustad pembimbing kami dari Indonesia, ustad Dave Ariant Yusuf yang menerangkan bahwa kita semua bisa umrah bukan karena punya uang tapi karena dipilih dan diundang oleh Allah SWT. Awal mendapat kabar bahwa aku akan ikut umrah aku hanya merasa bahagia dan sekedar bahagia saja, tidak lebih. Namun aku tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Awalnya aku menganggap apa-apa yang dibilang orang tentang Makkah dan Ka’bah biasa saja dan terlalu berlebihan, tapi saat aku merasakannya sendiri semua terbukti benar. Dan mungkin orang lain yang belum merasakan juga mungkin menganggapku berlebihan saat menulis ini. Coba saja dirasakan nanti hehehe. Di postingan ini aku akan menceritakan hari-hari paling tak terlupakan:

Manasik di Hotel Bintang (Rabu, 7 Mei 2014)
Manasik umrah oleh PT Arminareka Perdana dimulai setelah makan malam, tepatnya pukul 20:15 WIB. Aku, mama, papa masuk ke ruang manasik lebih dulu dan segera memilih tempat paling depan. Di layar diputarkan video ka’bah dan masjidil haram. Aku hanya bisa terdiam memandanginya. “Sebentar lagi aku kesana.” pikirku. Setelah para calon jamaah umrah masuk dan acara pun siap dimulai. Ustad Dave memulainya dengan mengucapkan salam dan kemudian bertanya kepada kami semua bagaimana rasanya umrah, apakah biasa saja? Senang? Sedih? Dan dalam hati aku berbisik “Teharu, ustad.” Dan aku melirikkan mata ke mamaku, mama hanya tersenyum lebar dan aku berpikir mungkin mama terharu karena telah menantikan ini sejak lama dan akhirnya kesampaian juga. Kemudian Ustad Dave mengajak kami menundukkan kepala sejenak sebelum mulai manasik lebih jauh, menundukkan kepala seraya menghayati dan melihat lebih jauh bahwa segala kelebihan yang ada dalam diri kita seperti ilmu, rupawan, dan jabatan merupakan titipan Allah yang harus kita jaga dan disini kita diminta untuk menghilangkan perasaan sombong karena kelebihan-kelebihan itu. Lalu Ustad Dave melanjutkan dan berkata bahwa kita bisa datang ke tanah suci adalah karena diizinkan oleh Allah SWT. Kita disana ibarat bertamu, apabila kita menjadi tamu yang baik (berperilaku baik) maka tuan rumah tak segan untuk mengundang kita kembali. Semua orang yang pergi ke sana pasti meminta agar diundang kembali untuk bisa datang ke tanah suci, maka kita harus menjadi tamu yang baik. Ilmu baru yang aku dapat dari Ustad Dave juga bahwa kalau kita umrah, kita mendapat jaminan: dihapus dosa-dosanya, do’anya dikabulkan, dan rezekinya lancar. Ustad Dave jadi ustad favoritku, baru pertama kali melihat tapi langsung suka dengan cara Ustadnya menyampaikan manasik yang ringan dan mudah dicerna juga diselingi humor-humor membuat acara ini menjadi santai dan tidak boring. Manasik berakhir pada pukul 22:15 WIB. Ustad Dave bilang akan ikut di salah satu bus kami nanti di Saudi Arabia.

Aku memandangi selebaran kertas berisi jadwal perjalanan kami nanti di sana. Tempat-tempat ini masih asing sekali dipikiranku. Sementara itu rasa cemas masih menyelimutiku akan virus yang sedang merajalela di sana, virus MERS. Kami telah membekali diri dengan obat-obatan dan antiseptik untuk cuci tangan. Tak lupa juga memohon perlindungan Allah agar dilancarkan segala urusan ibadah dan dilindungi dari segala macam penyakit. Jumpa pertama kali dengan Ustad Dave membuatku sangat amat berharap satu bus dengannya.

Perjalanan dari Hotel ke Bandara Soekarno-Hatta (Kamis, 8 Mei 2014)
Semua jamaah naik bus yang sudah ada di depan hotel mendekati pukul 11:00 WIB lalu pukul 11:00 WIB tepat bus berangkat menuju ke bandara Soekarno-Hatta. 



Disela-sela penantian waktu boarding, beberapa jamaah menyempatkan foto bareng Ustad Dave. “Ayo, ndak foto sama ustadnya?” ajak seorang ibu-ibu temen mama. Dan ini dia fotonya. 




Saat hendak menuju ruang tunggu sekitar pukul 15:00 WIB paspor dibagikan bersama dengan boarding pass. Ustad Dave memberi pengarahan sebentar yang intinya saat disana nanti kita harus sabar, ikhlas, dan tawakal. Kali ini kami menuju bandara King Abdul Aziz di Jeddah dengan pesawat Garuda Indonesia GA 982 yang berangkat pukul 16:35 WIB. Perjalanan Jakarta-Jeddah ditempuh selama kurang lebih 9 jam dan kami pun akhirnya sampai di Jeddah pukul 22:15 waktu setempat. Kami duduk-duduk sebentar di ruang tunggu. Beberapa orang arab menghampiri menawarkan kartu untuk ponsel kami. Mahal, 150 ribu. Aku ragu-ragu beli atau engga ya? Mahal sekali. Akhirnya….engga beli. Dan seminggu disana off, Alhamdulillah enak sekali. Beberapa saat kemudian kami langsung ke bagian imigrasi untuk dicek paspor dan langsung menuju pengambilan bagasi. Pengalaman menarik dialami papaku saat pengecekan paspor, sebelumnya Ustad Dave sudah memberi informasi kalau diimigrasi ada 2 kemungkinan pemeriksaan. Ada yang wanita/pria terpisah atau disana bagi wanita wajib membawa mahram laki-laki. Ternyata saat kami datang, yang berlaku adalah kemungkinan yang pertama. Ladies first, ibu-ibu mengantri di bagian imigrasi sedangkan bapak-bapaknya menunggu di lantai 2. Semua jamaah laki-laki difoto dan dicek sidik jari kecuali papaku. Dan orang-orang pun mulai bercanda kalau papaku mirip orang arab. Setelah beres kami keluar bandara dengan bus menuju ke kota Madinah dengan jarak kurang lebih 450 km dari Jeddah yang ditempuh kurang lebih 6 jam. Disini awal mula pertemuan kami semua (yang di bus 6) dengan Ustad Rasyid. Dengan ramah dan sumringah ustad ini membagikan dinner pada para jamaah yang semuanya muka bantal karena ngantuk sambil bus berjalan menuju Madinah. Kepalaku masih terasa sangat pening setelah naik pesawat selama itu, aku jet lag parah, kakiku sakit karena kelamaan duduk. Selama perjalanan ke Madinah aku hanya bisa menahan rasa pengen pipis karena toilet-toilet yang kurang bersih. Aku masih ingat pesan mama dan kata orang-orang juga hati-hati dengan ‘batinan’ kita, bisa langsung terlaksana. Akhirnya aku dan mama sepakat kalau tiap kita diam atau sedang berpikir negatif, kita akan baca istighfar sebanyak-banyaknya.

Sampai di Madinah (Jumat, 9 Mei 2014)
Akhirnya kami sampai di Madinah sekitar pukul 06.00 waktu setempat. Saat memasuki kota suci ini, ustad Rasyid menunjukkan masjid Bir Ali yang nantinya akan menjadi tempat miqot kami. Ustad Rasyid juga mengingatkan jangan sampai kita menyakiti hati penduduk Madinah karena karena Rasulullah SAW sangat memuliakan penduduk di kota ini. Tidak ketinggalan Ustad Rasyid juga menambahkan bahwa perempuan boleh sholat jum’at dan tidak perlu sholat dhuhur. Akhirnya bus berhenti tempat di depan hotel kami pukul 06:30. Hotel kami bernama Al Eiman Royal Al Faleh Center yang terletak tak jauh dari Masjid Nabawi. Sesampainya di hotel kami langsung sarapan dan masuk kamar masing-masing untuk mandi dan istirahat sebentar. Koper bisa diambil di lantai 14. Sebelum masuk kamar yang juga kebetulan di lantai 14, aku membantu papa mencari koper kami diantara tumpukan koper lainnya. Mama kemudian melihat tas ustad Dave, “Ustadnya di bus 4, nggak satu busa sama kita.” Kata mama padaku. Kecewa kecewa kecewaaa. Masuk ke kamar aku langsung menjatuhkan tubuhku di kasur dan semua rasanya masih berputar-putar dan lantainya gerak. Jet lag makin parah.

Hampir semua mobil warnanya putih ya, dan jarang pohon

Madinah from room 1403 Dar Al Eiman Hotel

Selfie dulu sama Madinah (hehe)

Menjelang pukul 11:00 aku dan mamaku bersiap ke Masjid Nabawi. Jujur, aku ngga pernah tau Masjid Nabawi bahkan sampai aku hendak mengunjunginya. Sesuai sabda Rasulullah SAW bahwa siapa yang sholat di Masjid Nabawi lebih utama daripada 1000 sholat. Subhanallah, makin semangat aja sholat disini. “Ada air zamzam nggak ya disini?” Tanya mamaku. “Kayanya engga deh, ma.” Jawabku sotoy. Ternyata saat kami masuk area Masjid Nabawi, tersedia kran-kran air zamzam yang dapat diminum secara gratis sebanyak apapun. Di bagian dalam masjid juga disediakan galon-galon air zamzam plus gelas plastik agar bisa langsung diminum. Subhanallah pertama kali meneguk air zamzam secara langsung dari tempatnya, segar dan dingin sekali. Di sekitar gate-gate Masjid Nabawi banyak orang berjualan, ada gamis laki-laki/perempuan, peci, tasbih, pashmina, gelang, coklat, dll. Kebanyakan mereka lebih bisa bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris. “Sepuluh real.” kata sang penjual saat mamaku mengangkat satu pashmina untuk menanyakan harganya. “Ayo liat liat, liat liat” seru salah seorang pramuniaga toko. “Apa kabar?” seru penjual di toko sebelahnya. Ada juga yang meneriakkan, “Murah-murah!”. Mungkin saking banyaknya orang Indonesia yang berkunjung kesini jadi lama kelamaan mereka mempelajari bahasa kami. Oh iya belanja di Madinah insyaAllah nanti diganti sama Allah 2 kali lipat.

Sepulang dari Masjid Nabawi papa bercerita, “Tadi kopyahku (peci) mau dituker sama orang Turki.” Kata papa sambil ketawa. “Hahahaha, kok bisa?” tanyaku. Karena sama-sama nggak paham bahasanya akhirnya papa dan si orang turki pake bahasa isyarat. Kayaknya peci khas Indonesia ini bagus sampe dia mau ngajak nuker, tapi ujung-ujungnya papa nolak.


Masjid Nabawi di jam-jam panas-panasnya matahari

Jam 21:00 kami berkumpul di depan hotel untuk ziarah ke makam Rasulullah di dalam Masjid Nabawi. Untuk kaum laki-laki terbuka selama 24 jam sedangkan untuk perempuan hanya dibatasi pada jam-jam tertentu. Jujur (lagi), aku baru tau kalau di Masjid Nabawi lah Rasulullah SAW dimakamkan. Dan aku mulai merasa berdosa dan bersalah, “Umat macam apa aku ini? Islam KTP.” Selama melihat jadwal aku terus berpikir, “Raudhah itu apa?” dan barulah aku tau sesaat kami akan berkunjung kesana. Aku mulai sadar selama ini aku sibuk melakukan apa sampai lupa dan ngga tau dimana Nabiku sendiri dimakamkan, dan jujur waktu itu aku juga ngga tau kapan Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Astaghfirullah. Pengakuan nih pengakuan (-_-).

 Ibu-ibu sudah berkumpul di depan pintu hotel dan kami didampingi 2 ustadzah berangkat menuju Raudhah. Aku menjaga (atau lebih tepatnya menahan) agar wudhuku tidak batal (jujur lagi: perutku mules he he). Kami kembali melewati pintu masjid dan seperti biasa, diperiksa tas demi tas untuk memastikan bahwa ngga ada kamera yang ‘lolos’. Melihat pembatas antara tempat sholat ikhwan dan akhwat hendak ditutup oleh petugas masjid, kami bergegas mempercepat langkah dan menyelipkan badan masuk ke area di seberang pembatas. Masjid Nabawi begitu besar hingga aku tidak bisa membayangkan sebenarnya di sebelah mana posisi kami saat ini. Kami duduk di dalam masjid bersama peziarah Indonesia lainnya. Melihat banyak orang menyelinap masuk dan ‘lolos’ penjagaan, jamaah makin ngga sabar dan ingin juga menerobos. “Ibu ibu, duduk.” Seru si penjaga saat ada jamaah yang berdiri dan terlihat siap menerjang dengan logat arabnya. Aku sudah mulai mengantuk karena menunggu terlalu lama, sudah 2 jam dan kami belum juga diberi kesempatan. “Nanti makamnya Rasul yang paling kiri pokoknya.” Kata ustadzah. Semua jamaah menyimak. Makam Rasul merupakan tempat mustajab juga untuk berdoa namun karena banyaknya peziarah, apa mungkin? “Kalau lagi berdoa, biar ngga diusir pura-pura sujud aja. Kalau orang sholat ngga diusir.” Tips dari ustadzah. Para jamaah mengangguk.

Antri sebelum masuk Raudhah

Kami menunggu cukup lama karena yang didahulukan adalah orang-orang Arab dan kami yang melayu disuruh menunggu. Sementara ustadzah kami mencoba bernegosiasi dengan penjaganya. Mereka terlihat akrab. Dan disini mulai timbul keinginanku untuk bisa berbahasa arab. Akhirnya kami bisa sholat di Raudhah pukul 12 lewat. Sholat disini ngga bisa dibilang gampang, untuk mencapai ke karpet hijau aja harus ngantri dan berdesak-desakan. “Yah gimana ini, nanti umrahnya jadi ngga mabrur..” kata ibu-ibu yang mulai putus asa karena kita belum juga dapet giliran. Akhirnya kami berhasil masuk dan tanpa pikir panjang aku langsung solat entah itu mau dilangkahin atau keinjek sama peziarah yang lain yang penting sholat walaupun ga bisa khusyu’. Berdoa secepatnya karena kita ngga bisa lama-lama, harus gantian sama jamaah lain. Raudhah ditutup jam 01:00 untuk perempuan sedangkan jumlah peziarah membeludak. Semua karpet di Masjid Nabawi berwarna merah kecuali karpet di daerah Raudhah. Tapi hati-hati ya kalau berkunjung ke Masjid Nabawi jangan bawa kamera digital karena takut disita, jadi lebih aman bawa hape saja. Saat di pintu masuk masjid nanti akan ada yang ngecek. Terus selama disana bawa kacamata hitam, ini wajib banget karena sinar matahari menyengat dan selama disana aku ngga pernah liat awan, adanya di Makkah itupun cuma sekali. Jadi langitnya berwarna biru bersih.

Berziarah di kota Madinah (10 Mei 2014)
Keesokan harinya pukul 07:00 pagi kami naik bus untuk ziarah melewati Masjid Ijabah, Masjid Quba, kebun kurma, Jabal Uhud, Masjid Khondaq, Masjid Qiblatain. Di Masjid Quba kita sholat sunah 2 rakaat. Selama perjalanan Ustad Rasyid bercerita di dalam bus kalau jaman dulu ada orang bertanya kepada Rasul kalau jarak Madinah-Makkah terlalu jauh, mereka bilang itu terlalu sulit untuk melaksanakan umrah. Akhirnya Rasul bilang bahwa apabila kita solat sunah 2 rakaat di Masjid Quba, pahalanya sama dengan melaksanakan umrah. Misalnya saat kita masuk ke masjid, kita sholat tahiyatul masjid 2 rakaat maka pahala sholat tahiyatul masjid tersebut yang akan dihitung sama dengan pahala umrah. Masjid Quba merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah. Madinah sendiri mulanya bernama Yatsrib dan setelah Rasulullah hijrah dari Makkah ke Yatsrib, nama kota ini dirubah menjadi Madinah. Selanjutnya kami menuju ke Kebun Kurma Abdul Aziz, disini Ustad Rasyid bercerita juga kalau ada namanya kurma ajwa dan Rasulullah bersabda barang siapa makan kurma ajwa niscaya dijauhkan dari segala racun.


Ustad Rasyid membimbing jamaah bus 6 di Masjid Quba

Sebelum ke Kebun Kurma Abdul Aziz foto bareng dulu :p

Selesai dari kebun kurma kami menuju Jabal Uhud atau Gunung Uhud tempat terjadinya perang uhud pada tahun 3 hijriyah. Sepanjang perjalanan menuju Jabal Uhud Ustad Rasyid juga menceritakan sejarah berkaitan dengan perang uhud ini. Dimana paman nabi, Sayyidina Hamzah tewas dan juga sahabatnya, Mus’ab bin Umair. Yang lebih miris lagi Hamzah tewas dan jantungnya dimakan oleh musuhnya, Hindun. Sedangkan Mus’ab sang pembawa bendera islam tewas dengan tubuh terpotong-potong karena saat tangan kanannya dipotong, ia pegang bendera islam dengan tangan kirinya. Saat tangan kirinya dipotong dia pegang dengan kakinya. Mus’ab ini juga sahabat yang membantu dakwah Rasulullah di kota Madinah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Dengan itu, meskipun penduduk Madinah belum pernah melihat Rasulullah tapi mereka sudah iman kepada Rasulullah. Cerita ustad ini menyentuh hati bagaimana beratnya dulu Rasulullah dan pengikutnya menegakkan agama islam dibandingkan saat ini kita bisa beribadah secara leluasa tanpa ancaman apapun. Kita seharusnya sangat bersyukur atas nikmat ini dengan cara meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Panas matahari begitu terik karena jarang dan hampir tidak ada pepohonan di sekitar situ. Kami pun turun dari bus dan diajak menyaksikan makam 70 syuhada yang meninggal saat perang uhud. Diantara 70 itu yang bisa dikenali hanya 3 dengan ditandai batu hitam yaitu Sayyidina Hamzah, Mus’ab bin Umair, dan satu lagi aku lupa. Dulu sebenernya makamnya bukan disini tapi karena dulu ada banjir jadi dipindah, dan saat dipindah darahnya masih segar dan ada yang bilang bahwa rambut para syuhada ini juga masih tumbuh. Aku makin merinding dengernya.

Jabal Uhud

Setelah melewati Masjid Khondaq dan Masjid Qiblatain kami kembali ke hotel karena nanti setelah ashar akan ada manasik lagi dari Ustad Dave. Ustad Dave kembali menerangkan mengenai tata cara umrah mulai dari niat, mengambil miqot, berihram, larangan ihram, sampai tata cara thawaf & sa’i plus cara pakai kain ihram untuk laki-laki. Para jamaah mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Ustad Dave. Tak lupa ustad Dave juga memantapkan hati kami, beliau mengibaratkan umrah ini sebagai out bond. Di out bond kita harus melakukan sesuatu yang diluar zona nyaman kita. Makan ngantri di hotel, masjid agak jauh, dll. Oh iya makin banyak langkah kita ke masjid makin banyak untungnya loh (maksudnya makin jauh jaraknya) setiap langkah kaki kanan diberi pahala kebaikan, setiap langkah kaki kiri diampuni dosanya. Aku mengeluarkan kertas yang berisi jadwal dan merangkum sedikit peristiwa agar bisa kususun menjadi cerita nantinya. ß behind the scene.


Mama lagi belanja pashmina di depan Masjid Nabawi (dan nawar harga juga)

Ustad Dave juga mengingatkan bahwa ini hanya sementara. “Bapak-bapak kalau kepalanya mau dibotakin nanti aja ya pas umrah kedua.” Iya, karena kita dua kali umrah. “Kalau mau dibotakin pas umrah pertama juga ngga papa, tapi kalau bisa jangan. Boleh sih kalau maunya yang kanan dulu, nanti sisanya yang kiri.” Semua tertawa. Di sela-sela manasik ustad Dave juga melawak kalau ibu-ibu ini pinter sekali. Sholat lima kali ke Masjid Nabawi, tiap sholat bawa satu tentengan dan tau-tau kopernya sudah bunting. Semua jamaah tertawa.

Ambil Miqot dan Melaksanakan Umrah (Minggu, 11 Mei 2014)
Keesekoan harinya jam 14:30 kami menuju masjid Bir Ali untuk mengambil miqot. Bapak-bapak sudah pakai kain ihram dan ibu-ibu pun juga. Semua berwarna putih. Sesampainya di Bir Ali kita langsung sholat sunah mutlak 2 rakaat dan berangkat. Di bus kami dibimbing Ustad Rasyid membaca niat umrah dan bacaan talbiyah. Labbayk allahumma labbayk, labbaykallaa syariikalakalbayk, innal hamda wani’mata laka walmulk, laa syarii kalak. Ya Allah kami datang memenuhi panggilanmu. Aku terlalu bersemangat hingga mengencangkan suaraku saat membaca bacaan talbiyah di dalam bus menuju Makkah. Ibu-ibu yang lain pun juga ngga kalah. Lalu ustadnya bilang kalau disunnahkan bagi laki-laki untuk mengeraskan bacaan talbiyah sedangkan perempuan hanya cukup didengar oleh diri sendiri. Aku tersenyum malu dan segera mengecilkan suaraku. Perjalanan siang hari ini dihiasi pemandangan bukit dan gunung pasir berwarna coklat dan padang pasir. Tidak ada unta yang aku lihat selama perjalanan disini. Kita juga dihimbau agar tidak dekat-dekat dengan unta karena diduga virus MERS berasal dari unta. Langit pun mulai gelap dan matahari mulai sembunyi di balik gunung-gunung pasir. Kami sampai di Dar Al Eiman Grand Hotel di Makkah sekitar pukul setengah sembilan.

Kami memasuki hotel dan langsung menuju ke restaurant untuk makan malam. Still, I do not stop my istghfar. Apalagi sudah di Makkah, harus hati-hati. Aku, mama, papa bergegas menyantap hidangan dan naik ke atas untuk wudhu dan mengambil koper. Ternyata koper kami belum tiba dan kami memutuskan ke kamar untuk berwudhu. Menjelang pukul setengah 10 kami menuju lift dan bertemu Ustad Rasyid yang kelihatannya sibuk sekali. “Ada jamaah yang ganti kaos, padahal kan ngga boleh. Bayar denda nanti.” Ustadnya bergegas. Aku terdiam dan heran, padahal tadi kan sudah dijelaskan larangan berihram. Kami tiba di lobby dan belum banyak jamaah dari bus 6 yang siap. Aku duduk di sofa sambil memandangi orang-orang. “Don’t see anyone.” Kata mama menundukkan kepalaku. “Kenapa?” tanyaku ingin tahu. “Nanti kalau kita lihat kita jadi mikir yang lain-lain.” Aku diam. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya aku membuka buku do’a kecil yang kudapat dari travel dan membolak balik melihat. Aku tetap bosan dan akhirnya kembali melihat orang-orang yang berlalu lalang di depanku sambil sesekali mengkritik dalam hati perihal penampilan mereka. Bebarengan dengan munculnya kritik di kepalaku, aku beristighfar banyak-banyak dalam hati. Aku terus melakukannya.

Jam setengah 10 kami berangkat serombongan ke Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf dan sa’i. Sebelum masuk Masjidil Haram, Ustad Rasyid betanya, “Ada yang batal wudhu?” hening, semua jamaah tampaknya serius dan tegang kebelet liat ka’bah. “Oke bapak ibu tunggu disini ya, saya yang batal.” Para jamaah tertawa. Sebelumnya kami sholat isya’ dan maghrib dulu diimami oleh Ustad Rasyid. Sejak tiba di area masjidil haram, aku teringat Mine yang pernah umrah sebelum aku bilang, “Nanti di masjidil haram kamu pasti nangis deh Fan.” Dan aku mulai berpikir kalau dia salah. Aku masih merasa belum ingin nangis. Masjidil Haram tidak kalah luas dengan Masjid Nabawi. Aku yang masih awam tidak tahu dimana letak ka’bah. Aku hanya memandang sekeliling mengagumi arsitektur masjid suci ini. Sebelum mulai tawaf aku berdo’a agar wudhuku ngga batal sampai putaran ke tujuh.

 Setelah itu kami perlahan menuruni tangga, yang ternyata menuju ka’bah. Kulihat bangunan kubus dilapisi kain hitam di depan mataku langsung. Diputari oleh banyak orang. Dihiasi bintang-bintang malam ini dan dinginnya udara makin menambah keindahan bangunan yang dijadikan tempat menghadap bagi ummat islam di seluruh dunia. Berbagai kalimat pujian kepada Allah SWT dilantunkan membuat hatiku berdebar-debar. Subhanallah aku tak henti mengucap tasbih dan segala kalimat syukur yang kutau karena akhirnya aku bisa melihat ka’bah yang selama ini hanya kulihat dari tv dan media sosial lainnya. Ka’bah sebagai tempat menghadap semua umat Islam saat sholat. “Ternyata selama ini aku memiringkan sajadahku ke kanan sedikit untuk mengahadapnya.” Aku tak kuasa menahan tangis yang makin lama makin jadi. Disini aku mulai sadar bahwa apa yang dikatakan orang-orang itu benar (HAHAHAHA). Ustad Rasyid memimpin do’a melihat ka’bah dan aku menirukannya sambil sesengukan nggak karu-karuan. Ternyata ka’bah gede sekali dan begitu banyak orang yang tawaf mengelilinginya. Sebelumnya Ustad Rasyid menjelaskan bagian ka’bah yakni rukun yamani, hajar aswad, hijr ismail (setengah lingkaran di samping ka’bah: disini tempat mustajab buat berdo’a. Doanya pasti dikabulkan.) dan maqam Ibrahim (tempat kaki nabi Ibrahim dulu saat membuat ka’bah. Setelah tawaf kita sholat sunah 2 rakaat di belakang maqam Ibrahim, disini tempat mustajab juga buat berdoa). Kami memulai tawaf dengan meluruskan bahu terhadap hajar aswad kemudian mengangkat tangan kanan seraya mengucap “bismillahi allahuakbar”. Ustad Rasyid memimpin bacaan dzikir dan diikuti oleh kami sampai akhir putaran ke tujuh lalu kami sholat di belakang maqam Ibrahim dan  berdo’a. Tawaf tujuh kali tidak terasa sama sekali, bahkan aku ingin lagi, lagi dan lagi. Selama dua putaran tawaf pertama aku masih tidak bisa menahan tangisku disela-sela membaca “Subhanallah walhamdulillah walaailaahaillallah huallahuakbar walahaula walakuwata illa billa”.
Papa & Ustad Rasyid

Selesai Umrah pertama. Ini di terasnya Masjidil Harram gate one.

Setelah itu kami menuju tempat air zamzam untuk minum kemudian sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Awalnya aku meremehkan sa’i paling jalan bentar aja. Ternyata kaki saya sakit sekali apalagi telapak kaki. Kupandangi jam yang menunjukkan pukul 2 dini hari, aku ingat lagi kata temanku yang sebelumnya juga sudah pernah umrah, Osa. “Disana pasti nggak ngantuk, Fan.” Dan dia benar. Aku tidak merasa ngantuk sama sekali. Ustad Rasyid membaca keras sepatah kata demi kata dan selanjutnya ditirukan oleh jamaahnya. Orang yang juga melaksanakan sa’i di samping kami melihat begitu kompaknya kami sehingga dia jb alias join bareng dan ikut juga menirukan bacaan do’anya. Akhirnya bolak balik tujuh kali Shafa-Marwah selesai. Selanjutnya kami melakukan tahalul yaitu memotong minimal 3 helai rambut yang sekaligus menandai selesainya umrah ini. Kami pulang ke hotel bersama-sama dan aku baru tidur pukul 3 dini hari tanpa sedikitpun rasa mengantuk. ---Coba baca artikel mengenai keajaiban ka’bah.---


Sa'i antara bukit Shafa dan Marwah

Memperbanyak ibadah di Masjidil Haram (Senin, 12 Mei 2014)
Keesokan harinya bangun agak telat dan baru menjelang sholat waktu sholat dzuhur berangkat ke Masjidil Haram. Disana aku ketemu bayi lucu namanya Sufyan. Dia ngga rewel walaupun mamanya ngaji dan sholat. Mama mulai pdkt dengan si bayi dan menepuk kedua tangannya sambil berkata, “Can you do that?” si bayi hanya tersenyum. Ibunya bilang, “It’s Sufyan.” Dan mama dengarnya, “Who? Shane?” masyaAllah disini masih ingat-ingat Shane hahaha.
Di tempat ramai kami berusaha membentengi diri dengan memakai masker dan menjauh apabila ada jamaah-jamaah yang batu pilek kronis. Karena seperti informasi yang kita dapat dari internet kalau salah satu gejala MERS adalah flu dan batuk. Namun ini tidak sedikit pun mengurangi kekhyusu’an saat beribadah. Dan sejak itu, aku dan mama punya kebiasaan hunting bayi waktu ke masjid ataupun pulang dari masjid. Bayi orang sana lucu-lucu, matanya belo dan hidungnya mancung. Cakep banget deh pokoknya.

Sholat di Masjidil Haram ini lebih utama daripada 100.000 sholat, tak heran jika masjid ini tidak pernah sepi dari jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Sebisa mungkin aku dan mamaku berusaha mendapat tempat sholat di lantai 1 karena bisa secara langsung memandang ka’bah. Entah kenapa setiap memandang ka’bah hati rasanya tentram dan bahagia. “They say New York never sleeps. They haven’t seen Makkah yet.

Ziarah di kota Mekkah dan Miqot untuk Umrah Kedua (Selasa, 13 Mei 2014)
Keeseokan harinya kita ziarah lagi dan berangkat dari hotel jam 07:00 setelah sarapan pagi. Sebelumnya aku sholat subuh dulu di Masjidil Haram bareng mama, karena berangkatnya kesiangan kita jadi dapat di lantai 3 dan apesnya lagi lupa bawa plastik tempat sandal. Subhanallah tau-tau ada plastik terbang pas di depanku sama mama, plastik yang memang disediakan di Masjidil Haram tapi cuma di lantai 1 dan itu tiba-tiba ada di lantai 3. “Subhanallah, Yaa Allah, ini punya siapa?” kata mama sambil menengok ke arah datangnya plastik. Dan tidak ada seseorang yang nengok balik yang menandakan kehilangan plastik itu. Tanpa ragu dan penuh syukur, kita gunakan plastik itu untuk tempat menyimpan alas kaki.

Setelah sholat subuh kita mencoba tawaf sunnah berdua, nekat. Aku merasakan tergencet sedikit dan ngga bisa napas. Aku menengadahkan kepalaku ke langit agar bisa bernapas karena yaa maklum orang disana kan tinggi-tinggi besar. Dan kunciran rambutku hilang waktu tawaf. I just can laugh, aku ngga bawa kunciran lagi dan akhirnya pake karet sayur ya ya ya ha ha ha.

Habis thawaf sunnah foto dulu sama ka'bah buat kalo kangen.....


Lalu kami kembali ke hotel untuk sarapan. Setelah semua naik di bus, dengan sabar Ustad Rasyid mengabsen satu satu jemaahnya yang kadang ilang ngga tau kemana. Tujuan pertama kita adalah Jabal Tsur atau Gunung Tsur, di atas gunung tsur ada goa tempat bersembunyinya Rasulullah SAW dulu dari kejaran orang kafir quraisy. Selama perjalanan seperti biasa Ustad Rasyid selalu menceritakan sejarah yang berkitan dengan tampat yang akan kita tuju. Setelah itu bus menuju Padang Arafah dan Jabal Rahmah, nah ini nih yang dinanti-nanti orang-orang yang mau minta jodoh. Di Jabal Rahmah ini sangat mustajab juga memohon do’a diberi jodoh. Jabal Rahmah sendiri artinya gunung kasih sayang. Disini adalah tempat pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa setelah 40 tahun berpisah. Konon katanya Nabi Adam diturunkan di India sedangkan Siti Hawa diturunkan di Jeddah. Kami melewati Mudzalifah dan Mina kemudian menuju Masjid Ji’ronah untuk mengambil miqot dan melaksanakan umrah kedua. Umrah kedua ini bisa diniatkan untuk orang yang sudah meninggal. Sesampainya dimasjid ini tempat wudhunya antri banget dan daerah sekitarnya sangat kering dan panas. Banyak dijumpai penjual air, aku dan mama tanpa pikir panjang langsung membeli air tersebut daripada menunggu antrian yang padat. Disini membuatku berpikir dan besyukur Indonesia belum pernah kekurangan yang namanya air. Air selalu melimpah dimana-mana. Cuman di Indonesia kalah tata kota sama Arab. Salutnya sama Arab karena mereka walaupun negaranya cuma padang pasir tapi bisa memaksimalkan. Disini aku berharap kalau Arab aja bisa, kenapa Indonesia yang lebih subur dan makmur ngga bisa. Mungkin juga karena melimpahnya sumber daya alam, kita jadi terlalu dimanja.


Jabal Tsur

                 
 
Jabal Rahmah
Setelah berganti pakaian ihram kami kembali ke hotel untuk makan siang dan sholat dhuhur. Pukul13:30 kami beragkat bersama-sama ke masjidil haram untuk melaksanakan umrah kedua. Sama seperti umrah pertama. Dari tawaf sampai tahalul. Hanya beda niat. Saat akan ke tempat sa’i, Ustad Rasyid mengecek kembali jamaahnya. “Udah lengkap ya?” Tanya ustad. Lalu di belakang ada yang berseru, “Ustad, istri saya ketinggalan. Sebentar ya.” Jamaah itu kembali ke tempat sholat di belakang maqam Ibrahim. Dan kurang 1 jamaah laki-laki lagi, setelah dicari sama ustadnya ternyata ketemu dan jamaah ini matanya berkaca-kaca, “Saya terharu ustad.” “Subhanallah..” kata Ustad Rasyid sambil tersenyum. Aku tersenyum setengah geli. Sabar banget ya jadi ustad sekaligus guide ini, yang jamaahnya istrinya ketinggalan, ada yang teharu. Wah macem-macem deh. Tapi pahalanya udah jelas besar sekali.

Memperbanyak ibadah di Masjidil Haram (Rabu, 14 Mei 2014)
H-2 sebelum kembali ke Jakarta kami tidak punya jadwal apa-apa dan hanya memperbanyak ibadah di Masjidil Haram yang kata Rasul lebih baik daripada 100.000 sholat. Sehabis solat duha aku pengen banget pegang ka’bah dan sholat di hijr ismail. Alhamdulillah semua kesampaian, dan menitikkan air mata lagi. Hahaha rempong parah nih. Saat pulang bau parfum ka’bah masih nempel dan tercium jelas di kedua telapak tanganku. Subhanallah. Nggak pernah terbayang bisa sedekat ini sama ka’bah dan bahkan menyentuhnya.

Tawaf Wada’, Corniche, Laut Merah, Pulang ke Indonesia (Kamis, 15 Mei 2014)
H-1 kami melaksanakan tawaf wada’ atau tawaf perpisahan setelah sarapan, sekitar pukul 9. Kami mengenakan batik arminareka dan berangkat bersama dipandu oleh Ustad Rasyid. Setelah selesai solat di belakang maqam Ibrahim kami diingatkan oleh ustad bahwa sudah nggak boleh beli-beli alias shopping di Makkah. Jam 14:00 bus kami berangkat menuju Jeddah, disana kami mampir ke Corniche untuk belanja oleh-oleh. Sebelum bus menuju Laut Merah, beberapa pedagang asongan masuk menawarkan parfum seharga 100.000 rupiah, mereka mau dibayar pake rupiah. Mama sibuk menolak tawaran si penjual yang terkesan ‘agak maksa’. “Sama ini.” Kata si pedangan sambil menunjukkan uang 100.000 rupiah. Mama  melambaikan tangan tanda ngga mau beli sambil bilang, “tidak suka pakai parfum.” Tapi si penjual tetep maksa. Akhirnya papa masuk ke bus. “Seperti orang arab.” Kata si pedagang tadi sambil menunjuk papa. Aku ketawa. Bukti nih bukti. Akhirnya sekitar pukul 17:00 bus kami kembali melaju menuju Laut Merah.


Foto (lagi) sama ka'bah sebelum meninggalkan Makkah. Hiks. I know I'm gonna miss this place sooo much.
Laut Merah dan Masjid Terapung
                  
Ustad Rasyid juga bercerita kalau harga bensin disini 1 real dapat 2 liter. “Oooh pantes ustad nggak pulang-pulang (ke Indonesia, udah 4 tahun)” celetuk salah satu bapak-bapak di belakang. Selanjutnya ke Laut Merah tempat dulu Nabi Musa mengalahkan Raja Fir’aun. Disepanjang perjalanan kami melewati Masjid Qisas dan istana Raja Faisal. Perjalanan ke Laut Merah diiringi rasa haru karena hanya sampai Laut Merah Ustad Rasyid menemani kami karena akan ada jamaah lain yang datang. Perlahan bus mendekati Laut Merah, aku tak kuasa menahan tangis namun kututupi dengan masker dan kacamata hitamku. Ustad Rasyid memohon maaf apabila ada kesalahan selama disini, kami pun juga mohon maaf. Setelah semua berkumpul di dalam bus sekitar pukul 18:30 kami bersalaman dan saling minta maaf. Bapak-bapak di belakang kemudian menyeletuk, “Ustad, kalau ke Jawa Timur kabar-kabarin saya yang di Jakarta ya.” “Semoga cepet dapet jodoh ya ustad.” “Semoga dapat istri yang sholehah.” Ustad Rasyid turun dari bus dan melambaikan tangan dari pinggir. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca yang seakan tak rela hanya mengantar kami sampai Laut Merah. Pak supir pun melaju ke bandara King Abdul Aziz. Perjalanan sepi tanpa celoteh dari Ustad Rasyid. Mungkin perasaanku dan semua jamaah sama bahwa kami masih belum rela pergi dari sini. Suasana hening dan hanya salah satu dari jamaah yang sibuk membagikan paspor. Sesampainya di bandara, kami menunggu sekitar 2 jam sebelum masuk ke tempat check in. Ustad Dave membagikan boarding pass para jemaah satu per satu dengan sabarnya. Memanggil nama jamaah segitu banyaknya. “Kok ngga ada yang bantuin ustadnya ya?” tanyaku pada mama sambil memandang Ustad Dave yang sibuk. Kami masuk dan menunggu di waiting room. Pesawat kami pun tinggal landas sekitar pukul 00:07 waktu Jeddah.

Seperti semua perpisahan yang selalu diiringi rasa haru . Aku (masih) tak kuasa menahan tangis saat melaksanakan tawaf wada’. Semua seakan berlalu terlalu cepat dan makin cepat. 7 hari di Saudi Arabia merupakan 7 hari terbaik dalam hidupku. Berawal dari sesuatu yang sama sekali diluar perkiraanku yang aku pikir ini mungkin mimpi bisa pergi ke tanah suci yang selama ini tak luput dari setiap doaku. Perpisahan dengan ustad pembimbing sekaligus guide kami yang selama ini melayani kami dengan baik dan tak pernah sekalipun aku melihatnya cemberut. Dia selalu sumringah dan murah senyum pada tiap orang. Kalimat perpisahan dari Ustad Rasyid yang membuatku sadar kalau hidup kita ini memang cuma sementara, “Kalau nanti kita ketemu di Indonesia jangan lupa nyapa, nanti insyaAllah kalau saya ingat saya nyapa, tapi kalau saya ngga ingat ya nyapa aja. Kalau ngga sempat ya nanti semoga kita ketemu lagi di surganya Allah SWT.” Nyesssssss banget. Di Laut Merah tadi tak sengaja aku menyanyikan lirik lagu What Makes A Man, “This isn’t goodbye even as I watch you leave this isn’t goodbye. I swear I won’t cry. Even as tears fill my eyes I swear I won’t cry.” Dalam hati aku sangat berharap bisa kembali lagi kesini dan bertemu semua orang-orang terbaik selama perjalanan ini. Semoga ibadah kami semua diterima oleh Allah SWT. Oh iya! Salah satu ciri ibadah umrah diterima oleh Allah adalah membaiknya diri kita. Misalnya yang semula ngga rajin sholat jamaah jadi rajin. Dan kalau ibadah umrah kita tidak diterima, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Naudzubillah.

Akhirnya pesawat kami mendarat kembali di tanah air dengan selamat. Para jamaah berkumpul di baggage claim untuk mengambil koper. Sementara aku mengantri air zamzam di sebelahnya. Ustad Dave membantu sekaligus mengawasi pembagian ini. Aku menyerahkan 3 paspor ke petugas bandara. Dan aku belum kepikir gimana caranya bawa 3 air zamzam 30 liter itu. Aku bawa satu-satu aja kali ya? Berat juga ternyata. Ustad Dave membantuku dan aku agak sungkan ini hehe.
Kami berpisah di Bandara Soekarno-Hatta. Aku dan mama pamitan dengan Ustad Dave dan beliau memberi kami kartu namanya. Aku sangat berharap bisa bertemu lagi dengan beliau lain waktu. Ya Allah terima kasih atas segala nikmat yang Kau berikan yang aku pun tak sanggup menebusnya.

Setelah…..
Ternyata cerita umrah ini tak ada habisnya, sama seperti saat aku pindah dari Balikpapan ke Malang aku menangis dan sedih sejadi-jadinya. Dan aku berpikir, mungkin tempat itu terlalu indah dan semua kenangannya memang susah untuk dihilangkan begitu saja. Rasanya ingin mengulang semuanya kembali saat Ustad Dave mulai manasik hingga kembali ke Soekarno-Hatta. Pernah saat aku tidur sore jam 3, (nanti jam 4 bangun) aku bermimpi seakan ada orang yang bilang, “Ayo cepetan bangun sholat ashar habis itu tawaf.” Di mimpiku yang terlihat hanyalah gambar ka’bah yang agak kabur. Aku terbangun dan malah makin ngga bisa move on. Ya Allah kapan aku diundang kesana lagi? Mau tidur malam pun susah keingat kebiasaan di sana tidur jam 10 ke atas saking senengnya ke Masjidil Haram. Dan bangun jam 3 pagi buat Tahajud dan Subuhan disana. Buka hape dan lihat foto-foto selama disana bikin makin teriris-iris karena kangennya. Ternyata bener apa yang dibilang Osa kalau udah kesana pasti kangen banget. Dan fyi, aku juga ga percaya awalnya sama dia yang udah pernah umrah duluan. Di waktu senggang, bengong mikirin semuanya disana. Rasanya masih kayak mimpi dan nggak nyata. 7 hari yang biasanya terasa lama disini seakan terasa cuma beberapa detik di sana. Pengalaman ini memang yang pertama, yang terbaik, dan tak terlupakan. Dan aku berharap bisa diundang lagi ke sana bersama mama, papa, dan orang-orang lain yang belum pernah kesana. Aamiin.

PS : Aku menulis cerita ini bertahap tidak sekali jadi. Aku ingin cerita ini detil hingga setiap aku membacanya aku akan ingat persis setiap detil kejadian disana. Semoga yang membaca juga turut asyik ya! Hehehe =)